Oleh: Lucia Peppy Novianti

 

Berawal dari kejadian bunuh diri yang dilakukan oleh seorang siswa di Tarakan, Kalimantan Utara, yang diduga akibat dari kewalahan menghadapi tugas-tugas belajar daring dari rumah, minggu lalu, kegelisahan mulai muncul kembali.Bahwa situasi adaptasi baru sudah mulai bergeser menjadi isu lain daripada sekedar penyesuaian. Ini adalah fenomena yang perlu menjadi perhatian, terlebih oleh masyarakat psikologi. Ada hal yang perlu kembali dilakukan. Lalu mulailah saya menghubungi ketua  Himpsi Kaltara. Dari situ, obrolan pun berlanjut dengan ajakan menjadi narasumber kegiatan IG live mingguan. Aku pun diajak untuk membahas Resilience Parenting di IG live Himpsi Kaltara tanggal 8 November 2020. Dan tema obrolan di IG live pun sukses membuatku ingin membahas dan memikirkan lebih lanjut.

 

Konsep ‘Resilence Parenting’ yang dipilih sebagai judul IG live hari Minggu kemarin cukup menggelitik untuk dipahami lebih mendalam. Bukan untuk menghadirkan suatu bentuk teori atau konsep parenting baru, di tengah maraknya berbagai brand perenting. Yang terpikir adalah bagaimana agar aspek resiliensi dapat betumbuh dalam keluarga. Herdiana et al. (2017) menulis tentang Family Resilience. Artikel kali ini mencoba memahami tulisan tersebut yang harapannya dapat memberi gambaran kepada para orangtua untuk menghadirkan resiliensi dalam pengasuhannya.

Mari kita mencoba memahami konsep resiliensi. Dalam kajian psikologi, resiliensi dipahami sebagai daya lenting seseorang untuk menghadapi kondisi buruk, tidak menyenangkan, atau menyakitkan. Secara umum, resiliensi dapat dilihat sebagai kemampuan seseorang untuk bangkit kembali terhadap peristiwa buruk yang dialami. Resiliensi sebetulnya dapat dimaknai sebagai dua hal: yakni sifat atau karakter dan perilaku. Resiliensi sebagai sifat atau karakter berarti aspek dalam diri seseorang sebagai kunci untuk dapat bangkit dan kembali produktif setelah mengalami suatu kejadian buruk. Sedangkan resiliensi sebagai sebuah perilaku berarti hal yang dilakukan ketika ada situasi sulit atau menantang. Demikian juga, ketika bicara resiliensi dalam pengasuhan maupun resiliensi dalam keluarga, maka harus diperjelas konteksnya, apakah tentang membangun sifat dalam keluarga tersebut atau resiliensi sebagai sebuah kemampuan yang dimiliki oleh keluarga (Herdiana et al., 2017).

Resiliensi keluarga yang bermakna perilaku berarti bagaimana keterampilan sebuah  keluarga ketika menghadapi tekanan atau situasi buruk sehingga dapat bangkit dan kembali produktif menjalankan kegiatan harian. Di sisi lain, resiliensi keluarga sebagai karakter berarti kapasitas keluarga  untuk kembali membangun kekuatan diri agar lebih tangguh dalam menghadapi kesulitan dan tantangan sehingga menjadi keluarga yang mampu berdaya mandiri. Beberapa ahli pun memandang bahwa resiliensi dalam keluarga adalah suatu proses. Artinya, perlu dilatih dan dibiasakan hadir dalam sebuah keluarga, baik resiliensi sebagai sebuah karakter maupun keterampilan.

Mengembangkan resiliensi dalam keluarga dapat dimulai dengan memasukkan resiliensi dalam pengasuhan. Ini berarti orangtua juga menstimulasi anak agar memiliki keterampilan yang dibutuhkan agar dapat menghadapi peristiwa buruk dan menyakitkan. Harapannya, dengan melatih dan membiasakan anak tentang keterampilan hidup tersebut daya lenting anak untuk menghadapi secara efektif dan tepat akan terlatih.

Resliensi dalam sebuah keluarga juga tentu dipengaruhi oleh dua aspek utama: aspek si masalah itu sendiri maupun aspek keluarga. Bila melihat pada masalah, tentu hal yang akan berpengaruh adalah tingkat kesulitan masalah, seberapa persoalan tersebut berpotensi memberikan dampak kepada system keluarga,  juga seberapa persoalan itu dialami oleh keluarga. Di sisi lain, faktor kondisi keluarga juga akan turut berpengaruh terhadap kualitas resiliensi keluarga, antara lain keyakinan yang terbangun dalam keluarga itu tentang bagaimana mereka yakin tentang kemampuan keluarga mereka, rasa kedekatan masing-masing anggota keluarga, pola berpikir positif yang dimiliki keluarga tersebut, pola komunikasi, tahapan kehidupan atau usia pernikahan, serta sumber daya yang dimiliki.

Lalu, bagaimana ya cara membangun resiliensi dalam keluarga melalui proses pengasuhan? Akan dijelaskan pada bagian kedua nanti ya…

 

Referensi:

Herdiana, I., Suryanto & Handoyo, S. (2017). Family resilience: A conceptual review. Advances in Social Science, Education and Humanities Research, 133, 41-47. https://doi.org/10.2991/acpch-17.2018.9


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: