Oleh: Lucia Peppy Novianti, S. Psi., M. Psi., Psikolog
Berita tentang kekerasan terhadap anak dan perempuan maupun juga kekerasan domestik (KDRT) semakin sering di temui. Walau demikian, beberapa pegiat maupun peneliti tentang kasus kekerasan anak dan perempuan menyatakan bahwa apa yang terekspose media massa selama ini masih merupakan fenomena gunung es. Artinya bahwa secara jumlah masih lebih banyak kasus yang nyata terjadi daripada yang belum terungkap. Juga tentang jenis dan kualitas kekerasannya. Beberapa yang terekspos cenderung yang memiliki nilai publisitas tinggi saja padahal tak jarang tindakan kekerasan yang sederhana atau seperti biasa saja namun dialami terus menerus dalam waktu bertahun-tahun juga berdampak besar bagi korban. Di lapangan ditemui bahwa masih ada kecenderungan masyarakat yang enggan mencari bantuan ketika mengalami kekerasan. Atau biasanya, upaya mencari bantuan baru dilakukan setelah terjadi korban atau persoalan berat.
Mengapa sepertinya korban, keluarga korban atau masyarakat secara umum terkesan tak acuh terhadap kekerasan yang terjadi di sekitar mereka, atau bahkan yang dialami. Berdasarkan pengalaman mendampingi, ada beberapa hal yang biasanya berpengaruh terhadap respon dan upaya mencari bantuan penanganan pada seseorang yang mengalami kekerasan di sektor domestik, atau pada anak dan perempuan, yaitu:
1. Ketergantungan korban terhadap pelaku
Keengganan para korban untuk mencari bantuan apalagi menindak secara hukum sering kali karena pelaku adalah pihak yang menghidupi, memegang peran utama secara ekonomi. Ini banyak terjadi pada kekerasan yang terjadi pada istri, bahkan beberapa kasus kekerasan secara fisik dan seksual terhadap anak pun semacam dibiarkan karena pelaku adalah bapak (ayah kandung maupun tiri). Pikiran istri/ ibu yang lebih hanya melihat bagaimana kondisi kehidupan selanjutnya bila kasus ini terungkap mendominasi dan lebih menjadi pertimbangan utama daripada dampak kejadian tersebut.
2. Rasa takut
Faktor ini juga sering menjadi penyebab utama. Beberapa korban merasa takut karena ancaman yang diberikan oleh pelaku sangat dominan di ingatan. Biasanya, ketakutan ini semakin kuat karena ancanaman tidak hanya kepada diri korban tapi juga kepada orang-orang terdekat korban. Karena kondisi psikologisnya yang juga sedang penuh tekanan, maka para korban biasanya tidak mampu berpikir rasional dan langsung mempercayai ancaman tersebut. Rasa takut juga terkadang muncul terkait dengan dampak apabila korban ini kemudian mengungkap, melaporkan atau mencari bantuan. Pada kondisi ini, rasa takut biasanya bersumber dari asumsi-asumsi yang berkembang karena berpikir bahwa ia akan mendapat dampak lebih buruk (misalnya akan dikucilkan keluarga, dianggap menjadi penyebab kesulitan pada keluarga, maupun tidak dipercaya dan bahkan dibuang atau diasingkan oleh keluarga).
3. Tekanan keluarga (tidak ada dukungan dari keluarga)
Ada beberapa kasus di mana keluarga korban malah tidak memberikan dukungan kepada korban. Biasanya hal ini terjadi karena perilaku korban sebelumnya sehingga keluarga pun dipenuhi dengan prasangka terhadap korban. Akibatnya, keluarga pun berdalih tidak mau mengurusi si korban lagi dan korban pun merasa sendirian tidak ada dukungan. Selain itu, sering kali pula korban tidak mendapat dukungan dari keluarga juga bersumber dari faktor nomor 1, yakni ketergantungan keluarga pada pelaku. Pelaku yang berperan besar secara ekonomi sering kali akan membuat keluarga berpikir ulang untuk bertindak tegas terhadap pelaku. Pada kondisi korban dengan minimnya dukungan dari keluarga biasanya penanganan akan lebih banyak menemui hambatan, termasuk keengganan korban untuk mencari bantuan.
4. Norma sosial
Bagaimana para korban dipenuhi dengan nilai sosial bahkan setelah pengalaman kekerasan ini juga berdampak pada respon dan upaya mencari penanganan pasca kejadian. Ada beberapa korban yang merasa bila mereka mencari bantuan untuk mengatasi kondisinya maka sama saja ia berbuat dosa, karena membuka aib. Atau dominasi rasa malu dan tidak ingin mempermalukan keluarga juga sering kali menjadi alasan keengganan para korban untuk mencari bantuan, bahkan bantuan secara psikologis sekalipun.
5. Ketidakberdayaan
Mayoritas korban juga berada dalam ketidakberdayaan. Ketika beberapa faktor di atas dimiliki bersamaan pada korban (ketergantungan kepada pelaku, rasa takut, tekanan keluarga, serta norma sosial), maka akan terbangun situasi tidak berdaya. Sepertinya tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk membuat kondisi lebih baik. Atau pikiran lainnya adalah tidak ada yang bisa dilakukan lagi karena dalam pikirannya sepertinya memang tidak ada yang bisa dilakukan. Atau, ketidakberdayaan juga bisa terjadi karena dampak kekerasan itu (baik yang berlangsung lama ataupun hanya satu kali pengalaman tapi begitu membekas dan melukai) telah menimbulkan tekanan psikologis luar biasa. Pada kondisi ini, biasanya korban tidak memiliki energi apalagi motivasi dan keinginan untuk melakukan sesuatu.
6. Ketidaksadaran bahwa dirinya merupakan korban
Ada pula kondisi korban yang justru merasa dirinya tidak menjadi korban. Pada situasi ini tentu penanganan untuk perbaikan kondisi atau pencegahan terhadap tindak kekerasan lebih lanjut menjadi sulit dilakukan. Biasanya, kondisi ini terjadi bersumber dari siklus pelaku kekerasan di mana setelah terjadinya kekerasan lalu pelaku menyanjung dan memberikan banyak hal bahkan lebih dari kebutuhan atau keinginan korban. Korban pun mudah jatuh pada asumsi bahwa pelaku hanya sedang dalam kondisi emosional saja ketika perilaku terjadi, bukan sengaja melakukan tindakan kekerasan. Ada pula penyebab lain atas kondisi ini, seperti karena korban memiliki tingkat kecerdasan rendah atau gangguan psikologis tertentu. Pada situasi ini maka orang terdekat atau keluarga berperan besar dalam memutus rantai kekerasan ini atau menghadirkan penanganan pada para korban.
Sumber: www.transbluefm.com
Sebetulnya, kampanye atau informasi tentang tindakan kekerasan pada anak dan perempuan sudah sangat banyak. Hanya saja, terkadang karena hal tersebut seakan jauh dari kehidupan kita, atau belum dialami, maka informasi tersebut sering diabaikan. Demikian juga, kampanye tentang penanganan tindakan kekerasan ini juga biasanya kembali akan menghangat ketika ada suatu kasus besar yang ramai di media.
Sebagai bagian dari masyarakat, sebetulnya kita dapat mengambil peran dalam persoalan ini, baik ketika ada orang di sekitar kita yang mengalami atau sebagai langkah pencegahan.Ada hal-hal yang bisa kita lakukan, hal-hal sederhana, yang sebetulnya akan berdampak besar dalam upaya memberi bantuan dan dukungan terhadap para korban. Beberapa hal sederhana yang dapat kita lakukan antara lain:
1. Menghadirkan dukungan: sosial dan instrumental
Hal utama yang diperlukan korban adalah adanya pihak yang mendukung. Dukungan ini bisa berupa secara psikologis(emosional) atau instrumental. Jadi, bila Anda menemukan orang di sekitar Anda menjadi korban, maka hadirkan sikap dukungan ini. Paling sederhana adalah dengan mendengarkan ceritanya namun tanpa sikap menghakimi. Lalu diikuti dengan menggali kebutuhannya pasca pengalaman itu. Bila memungkinkan (artinya Anda memiliki sumber daya, energi dan waktu) bantu dia untuk mendapatkan penanganan yang dibutuhkan,misalnya secara medis, psikologis bahkan hukum. Namun perlu pula diingat bahwa sikap mendukung sebagai dasar utama sikap kita terhadapnya. Jangan sampai cara yang Anda gunakan dalam memberikan dukungan justru menimbulkan tekanan baru bagi korban, misalnya karena ia belum siap untuk melaporkan namun Anda bersikeras untuk melaporkan tindakan tersebut. Siapkan dan kuatkan dulu si korban baru kemudian dorong dia untuk mengambil langkah lebih lanjut.
2. Tidak melibatkan diri ketika ada pergunjingan tentang suatu kasus.
Di masyarakat kita, pergunjingan tentang isu sensitif akan mudah menyebar. Kasus kekerasan pada perempuan dan anak terutama yang terjadi di dalam keluarga akan menjadi salah satu rumor yang mudah panas di masyarakat. Para korban tersebut sudah mengalami tekanan dengan peristiwa itu sendiri maka jangan lagi ditambah dengan turut serta menyuburkan pergunjingan di masyarakat. Mungkin dalam pikiran kita, si korban tidak mendengar atau tidak tahu karena disampaikan di belakangnya. Namun, tindakan ikut serta ini sebetulnya telah ikut menghadirkan tekanan sosial secara tidak sadar bagi korban.
3. Membantu mencarikan informasi penanganan yang terjangkau
Ketika kita mendengar ada orang di lingkungan kita mengalami kekerasan namun kita tidak dimintai bantuan langsung, menjadi sedikit proaktif bisa jadi akan bermanfaat. Salah satunya mencarikan informasi langkah yang perlu dilakukan, apakah pihak yang dapat memberikan dukungan penanganan medis, psikologis atau pendampingan proses hukum. Namun, pastikan informasi ini dapat dipercaya dan memang layak diberikan. Walaupun belum tentu ditindaki, namun dengan adanya informasi tentang pihak yang dapat memberikan bantuan dan memang ahlinya, para korban setidaknya memiliki pandangan baru dan mungkin juga harapan. Namun dipastikan dulu ya kebenaran dan keahlian informasi yang akan kita berikan ini.
Persoalan kasus kekerasan anak dan perempuan ini sering kali kompleks. Masyarakat atau orang di sekitar pun akan dapat berperan terhadap pengalaman kekerasan dan kondisi pasca kekerasan pada korban. Oleh karena itu, membangun sikap kepekaan dan kepedulian akan ikut andil untuk para korban. Bukan tidak mungkin pula bahwa kondisi ini juga akan mampu membangun masyarakat sehingga dapat lebih sadar untuk peduli tentang persoalan tindakan kekerasan di area sekitarnya. Semoga
Oleh: Sinta Damayanti Membahas manfaat dari membaca buku memang tidak ada ujungnya. Seperti yang kita ketahui, membaca buku dapat menambah wawasan secara luas, mempelajari topik baru, mengisi waktu dengan kegiatan produktif, hingga mengasah daya imajinasi Read more…
Oleh: Syafira Dyah Setyowati Menurutmu, apa benar saat ini kau masih mencintaiku? Menurutmu, apa yang bisa dicinta dari diriku? Bukan apa, hanya bersiap, tak ada yang tahu, aku takut Tak pernah ada yang lama menungguku Read more…
Oleh: Sinta Damayanti Para penulis atau penggiat seni yang bergelut dalam kreativitas kerap kali dikaitkan dengan gaya hidup yang tidak sehat. Begadang, pola makan tidak teratur, isolasi diri, hingga strategi menghadapi stres dengan cara negatif. Read more…
0 Comments