Oleh: Agnes Angelina Paramita

“Udah disakiti, kenapa masih mau-maunya bertahan?”

Pertanyaan serupa mungkin muncul di benak teman Wiloka ketika menyaksikan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ketika memilih untuk tetap bersama pasangan kendati memperoleh perlakuan kasar, baik secara fisik, seksual, ekonomi, emosi, ataupun psikologis. Keputusan untuk meninggalkan pasangan tidak semudah yang kita bayangkan. Bagaimana dinamika permasalahan yang acapkali menahan korban untuk melaporkan, bahkan meninggalkan pasangan KDRT?

Terjebak dalam siklus kekerasan

Walker (1979, dalam Wilson, 2019) mengemukakan bahwa korban KDRT umumnya terjebak dalam siklus kekerasan, yang terdiri dari fase tension-building, violence/kekerasan, dan honeymoon.

  1. Pada fase tension building, pelaku menggunakan teriakan, bentakan, dan ancaman kepada korban. Pelaku juga cenderung tidak memberikan afeksi kepada korban, baik dalam wujud fisik maupun verbal/perkataan. Pelaku juga mengisolasi korban, mudah terprovokasi, dan selalu berusaha terlibat adu argumen dengan korban. Perkataan pelaku sering ditujukan untuk merendahkan dan menuduh korban (Domestic Violence, n.d.). Pada fase ini, pelaku juga menunjukkan kecemburuan terhadap korban dan kerap mencurigai korban melakukan perselingkuhan (Both dkk., 2019). Untuk menghindari perlakuan kasar dari pasangan, korban akan menuruti perintah pasangan. Tak jarang korban merasionalisasi perlakuan kasar pasangan sebagai akibat dari kelelahan kerja (Walker, 1979, dalam Wilson, 2019). Fase ini berlangsung dalam hitungan hari, bulan, bahkan tahun (Walker, 1979, dalam Wilson, 2019).
  2. Sementara itu, fase violence/kekerasan merupakan fase di mana pelaku melakukan sebagian besar kekerasan, dapat berupa kekerasan fisik (memukul, menjambak, menampar, membanting, melempar barang), kekerasan seksual (memberikan ujaran seksual yang bertujuan merendahkan korban, memerkosa), serta kekerasan emosional dan psikologis (bersikap sarkas, melakukan gaslight, mempermalukan dan merendahkan korban di depan orang lain) (Domestic Violence, n.d.). Both dkk. (2019) mengemukakan bahwa umumnya, kekerasan emosional dan psikologis muncul mendahului kekerasan fisik dan seksual. Untuk mengantisipasi kemunculan kekerasan emosional dan psikologis yang dilakukan pasangan, korban KDRT perempuan akan menunjukkan sikap patuh dan melakukan tindakan yang ditujukan untuk menyenangkan pasangan (Both dkk., 2019). Meskipun berlangsung paling singkat (2–24 jam) dibandingkan dua fase lainnya, fase ini merupakan fase paling berbahaya dan merugikan, di mana umumnya korban membutuhkan pengobatan medis (Walker, 1979, dalam Wilson, 2019). Both dkk. (2019) juga menyatakan bahwa sebagian besar individu yang sampai pada fase kekerasan sedang dalam pengaruh alkohol dan obat-obatan.
  3. Fase terakhir merupakan fase honeymoon, yakni fase di mana pelaku menunjukkan afeksi, penyesalan, dan permintaan maaf kepada korban atas kekerasan yang dirinya lakukan (Saoirse Domestic Violence Services, n.d.). Pada fase ini, pelaku kerap menghujani korban dengan hadiah, pernyataan cinta, serta janji bahwa ia tidak akan mengulangi perbuatannya. Mereka juga menjadikan kesibukan/kelelahan kerja dan pengaruh alkohol serta obat-obatan sebagai alasan melakukan kekerasan. Beberapa pelaku KDRT juga memanipulasi korban secara psikologis untuk membuat korban percaya bahwa tindakan kekerasan yang diterima merupakan perwujudan perhatian dan rasa ‘memiliki’ sebagai pasangan. Sebagai dampak, korban bersedia memaafkan pasangan dan melakukan rasionalisasi bahwa perilaku kekerasan pasangan disebabkan karena pasangan sedang lelah, stres, dan sibuk serta memercayai bahwa pasangan tidak akan mengulangi perbuatannya (National Coalition Against Domestic Violence, n.d.). Pada fase ini, korban merasa bingung terhadap sikap pelaku yang menghujaninya dengan banyak afeksi dan perhatian setelah melakukan kekerasan. Korban juga memikirkan berbagai dampak yang berpotensi muncul ketika ia meninggalkan pasangan, seperti masa depan anak, komentar negatif masyarakat, dan ketergantungan ekonomi terhadap pelaku (Walker, 1979, dalam Wilson, 2019). Kebingungan tersebut kemudian mengarah pada keengganannya untuk pergi dan mencari bantuan (Both dkk., 2019). Siklus pun kembali ke fase tension building, violence/kekerasan, honeymoon, dan seterusnya yang menyebabkan korban tidak berdaya dan terperangkap dalam KDRT.

Bagaimana berempati terhadap korban KDRT?

Sebagai masyarakat sekitar, memahami kompleksitas faktor-faktor yang menghambat korban KDRT membebaskan diri dari kekerasan diharapkan menumbuhkan empati kita pada mereka, sekalipun mereka menolak untuk pergi dari hubungan tidak sehat yang dialami. Secara praktis, bantuan apa saja yang dapat kita berikan kepada korban KDRT yang sedang berusaha keluar dari jeratan KDRT? Buddy (2022) mengemukakan beberapa cara:

  1. Katakan kepada mereka bahwa diri kita ada untuk mereka. Kapan pun korban KDRT membutuhkan tempat untuk bercerita, kita akan berusaha hadir bagi mereka. Belajarlah untuk mendengarkan dengan aktif tanpa memberikan penilaian ataupun menghakimi.
  2. Pandanglah korban KDRT sebagai manusia yang berdaya. Menerima kekerasan emosional dan psikologis dari pasangan mampu membuat korban KDRT merasa rendah diri serta menganggap diri mereka tidak berdaya. Katakan kepada mereka bahwa keputusan untuk meninggalkan pasangan sepenuhnya berada di tangan mereka. Katakan pula bahwa diri merekalah yang memegang kendali hidup mereka dan tahu yang terbaik bagi diri mereka.
  3. Cermati pertanda fisik dan psikologis KDRT pada korban. Pertanda fisik meliputi luka, memar, dan ruam. Sementara itu, pertanda psikologis meliputi kemunculan rasa takut, cemas, bersalah, rendah diri, perubahan pola makan dan pola tidur, hingga penggunaan alkohol atau obat-obatan. Ketika pertanda tersebut muncul pada orang di sekitar kita, dekati dan berikan perhatian lebih pada mereka. Jika perlu, berikan mereka saran untuk menerima bantuan eksternal, seperti dari layanan aduan KDRT.
  4. Berikan kontak layanan pengaduan KDRT dan yakinkan mereka untuk tidak ragu menerima bantuan dari pihak luar ketika dampak dari kekerasan dirasa mengganggu produktivitas dan kesejahteraan hidup.
  5. Bantu mereka menyusun safety plan, yang berisi rencana penyelamatan diri ketika korban mengalami kekerasan. Penyusunan safety plan dapat meliputi persiapan kebutuhan materiel (seperti menyiapkan tas khusus berisi uang, makanan, P3K, dan dokumen-dokumen penting), persiapan sarana transportasi dan tempat yang aman untuk tinggal sementara, penyimpanan kontak-kontak darurat ketika keadaan bahaya muncul (seperti kontak sahabat, saudara, tetangga, dan layanan pengaduan KDRT), penentuan alternatif alasan yang dapat diberikan kepada pasangan untuk kabur ketika korban sedang dalam keadaan terancam, serta bersama dengan orang-orang terdekat korban yang dipercaya (seperti sahabat, saudara, dan tetangga) melakukan penentuan kode/isyarat khusus yang menandakan bahwa korban sedang dalam bahaya.

 

Itulah beberapa faktor yang menghambat korban KDRT keluar dari hubungan tidak sehat yang mereka miliki. Semoga artikel ini menambah wawasan teman Wiloka untuk lebih memperhatikan orang-orang di sekitar mereka, terkhusus mereka yang menjadi korban kekerasan dan memberikan bantuan sesuai dengan kapasitas kita!

 

Referensi:

Both, L. M., Favaretto, T. C., dan Freitas, L. H. M. (2019). Cycle of violence in women victims of domestic violence: Qualitative analysis of OPD 2 interview. Brain and behavior, 9(11). https://doi.org/10.1002/brb3.1430

Buddy. (2022, Agustus 29). 9 Ways to Help a Victim of Domestic Violence. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/how-to-help-a-victim-of-domestic-violence-66533

Domestic Violence. (n.d.). Step by Step Guide to Understanding the Cycle of Violence. Domestic Violence: It’s EVERYBODY’S Business. https://domesticviolence.org/cycle-of-violence/

National Coalition Against Domestic Violence. (n.d.). Why Do Victims Stay?. https://ncadv.org/why-do-victims-stay

Saoirse Domestic Violence Services. (n.d.). The Cycle of Violence. https://sdvs.ie/the-cycle-of-violence/

Wilson, J. K. (2019). Cycle of Violence. The Encyclopedia of Women and Crime, 1–5. https://doi.org/10.1002/9781118929803.ewac0083

*penulis merupakan mahasiswa magang Wiloka Workshop


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: