oleh: Baskara Hasta Manggala

Quiet Quitting telah menjadi pokok bahasan di jagad maya, khususnya di bidang pekerjaan dan karir. Terdapat banyak pendapat dan konsepsi Quiet Quitting yang dapat ditemukan di internet. Seperti contoh, dalam The Conversation (Ahmed, 2022), konsepsi Quiet Quitting diperlihatkan sebagai usaha seseorang untuk mencapai work-life balance dengan cara mengalokasikan waktu seminimal mungkin untuk menyelesaikan jobdesc di tempat kerja. Di sisi lain, VOI (Amarasthi, 2022) mengambil fenomena tersebut sebagai kurangnya motivasi dan keterlibatan karyawan terhadap produktivitas perusahaan. Dari kedua pandangan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Quiet Quitting ini merupakan fenomena yang berkaitan dengan meningkatnya kesadaran karyawan untuk memberikan batas keterlibatan dalam perusahaan.

Quiet Quitting sebagai Ancaman terhadap Budaya Bekerja

Kelahiran Quiet Quitting didasari oleh budaya materialisme dan pragmatisme di barat—bahwa setiap pekerjaan atau upaya yang dilakukan untuk mendapatkan uang, sehingga karyawan tidak mau melakukan pekerjaan tambahan tanpa adanya upah ekstra. Tentu saja sebagai budaya baru yang terlahir akibat krisis Great Resignation akibat pandemi Covid-19 (Hetler, 2022), masuknya budaya Quiet Quitting perlu penyesuaian untuk masuk ke masyarakat Indonesia. Pasalnya, budaya tersebut bertolak belakang dengan prinsip yang sudah ada dan berkembang di masyarakat Jawa, yakni Sepi ing Pamrih, Rame ing Gawe atau lebih akrab dikenal sebagai gotong royong.

Istilah “sepi ing pamrih, rame ing gawe” bermakna “sedikit mengharapkan imbalan, banyak bekerja”. Dalam prinsip gotong royong, bahasan seputar imbalan menjadi sangat minim dan bahkan terkadang ditiadakan kecuali untuk membantu tercapainya tujuan bersama. Dasar dari gotong royong adalah keikhlasan dan rasa kekeluargaan untuk saling membantu dalam mencapai kepentingan. Seluruh individu yang terlibat dalam proses ini tidak merasakan adanya tekanan ataupun paksaan untuk menjadi produktif, melainkan diliputi perasaan senang dan ikhlas dengan keterlibatannya dalam kesejahteraan orang banyak—menyadari dirinya memiliki peran dan kebermanfaatan di masyarakat. Bentuk motivasi untuk bekerja seperti ini telah mencakup ketercukupan kebutuhan psikologis pada tiap individu sekaligus meningkatkan keterikatan dan produktivitas.

Berbeda dengan gotong royong, quiet quitting menuntut kesadaran lebih masyarakat untuk mengalokasikan waktu bekerja dan bersenang-senang secara terpisah. Dalam struktur organisasi mekanistik (setiap orang mendapat peran spesifik dengan interaksi secara tertutup dan terbatas), cara pikir tersebut memanglah sangat relevan mengingat keterikatan yang dihasilkan sangat minim sehingga motivasi karyawan adalah untuk mendapatkan upah—bukannya ketercapaian tujuan bersama. Diperlukan alokasi waktu khusus untuk kesenangan dan berinteraksi dengan orang lain untuk mencapai work-life balance dalam mekanisme kerja yang demikian.

Work-life Balance atau Engagement di Lingkungan Kerja?

Mengambil latar lingkungan kerja modern, seluruh pemaparan di atas berujung pada sebuah pertimbangan: mengejar work-life balance untuk hidup layak, atau mengupayakan engagement agar seluruh karyawan merasa terpenuhi kebutuhan psikologisnya secara alami seperti pada kasus gotong royong? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita sadari bahwa terdapat syarat-syarat khusus untuk terjadinya engagement atau perasaan karyawan untuk memiliki rasa terlibat karyawan berfokus pada masalah komitmen, kepuasan dan perilaku organisasi dalam lingkungan kerja. Menurut Elliot & Corey (2018), syarat agar keterikatan karyawan dalam sebuah perusahaan dapat terjadi meliputi: komunikasi yang jujur dan terbuka; terdapat maksud, tujuan, dan nilai; kepemimpinan yang baik; manajemen yang baik; job design yang baik; proses belajar; rekognisi; upah dan benefit; wellbeing; serta terdapat workspace. Tentu dari sini saja kita dapat melihat bahwa keterikatan karyawan dalam lingkungan kerja modern merupakan kejadian yang memerlukan usaha dan perhatian yang intens.

Menanggapi hal ini, menurut saya, work-life balance dan employee engagement merupakan hal yang sama pentingnya dalam kehidupan karyawan. Tanpa work-life balance, karyawan akan melewatkan banyak momen yang seharusnya didapatkan untuk pengembangan diri maupun rekreasi sehingga memicu banyak masalah yang berhubungan dengan psikis dan kehidupan sosial: misalnya burnout. Hal tersebut sesuai dengan temuan Tuğsal & Ülgen (2017), dimana kurangnya work-life balance dapat menjadi prediktor untuk kelelahan emosional (salah satu dimensi dalam burnout). Sedangkan tanpa employee engagement, lingkungan kerja akan terasa menjadi beban psikis sebab tidak ada motivasi dan rasa kebersamaan untuk mencapai tujuan besar. Bahkan keberadaan keterikatan antar pegawai dalam intensitas tinggi dapat meningkatkan optimisme pegawai sehingga performa karyawan meningkat (Kim-soon & Manikayasagam, 2015)

Penulis menyarankan bahwa kehidupan kerja yang baik adalah yang didasari oleh rasa ikhlas. Keikhlasan yang dimaksud bukanlah bekerja tanpa upah, melainkan mengizinkan diri kita untuk terlibat dalam pekerjaan dengan hati yang tenang dan pikiran positif sehingga pekerjaan terasa dilakukan tanpa beban yang berarti. Menurut Fatmawati (2021), kerja ikhlas meliputi kerja keras dan kerja cerdas dengan menyertakan sikap ikhlas dan niat yang ikhlas. Baiknya kita perlu menyadari betul peran kita dalam pekerjaan dan mengerjakannya sepenuh hati, sembari ngopi santai dengan rekan kerja. Disamping itu, kita perlu memiliki manajemen waktu yang baik untuk mengizinkan diri sejenak beristirahat dan menikmati waktu bersama orang terdekat.

 

Referensi

Ahmed, N. (2022, August 26). Quiet quitting: Mengapa Bekerja Lebih Sedikit Itu Bagus Untukmu — Dan Juga Bosmu. The Conversation. Retrieved September 14, 2022, from https://theconversation.com/quiet-quitting-mengapa-bekerja-lebih-sedikit-itu-bagus-untukmu-dan-juga-bosmu-189422.

Amarasthi, N. (2022, August 24). Mengenal quiet quitting, Efek Tidak Nyaman Bekerja Yang bikin Produktivitas Menurun. VOI. Retrieved September 14, 2022, from https://voi.id/lifestyle/203884/mengenal-quiet-quitting-efek-tidak-nyaman-bekerja-yang-bikin-produktivitas-menurun.

Elliott, G., & Corey, D. (2018). Build it The Rebel Playbook for World-Class Employee Engagement. United Kingdom: Wiley.

Fatmawati, N. (2021, August 10). Kerja Keras, Kerja Cerdas, dan Kerja Ikhlas. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Retrieved September 21, 2022, fromhttps://djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/14128/Kerja-Keras-Kerja-Cerdas-dan-Kerja-Ikhlas.html.

Hetler, A. (2022, September 1). Quiet quitting explained: Everything you need to know. WhatIs.com. Retrieved September 14, 2022, from https://www.techtarget.com/whatis/feature/Quiet-quitting-explained-Everything-you-need-to-know.

Kim-soon, N., & Manikayasagam, G. (2015). Employee Engagement and Job Satisfaction. https://doi.org/10.13140/RG.2.1.5050.6966.

Tuğsal, T., & Ülgen, B. (2017). Work-Life Balance and Social Support as Predictors of Burnout: An Exploratory Analysis. International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 7(3),pp. 117-138. https://doi.org/10.6007/IJARBSS/v7-i3/2699.

*Penulis merupakan mahasiswa magang Wiloka Workshop


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: