Oleh : Yoga Padma Wanny
Pada 30 dan 31 Maret 2019 saya sangat beruntung dan berkesempatan mengikuti Forum Belajar Psikologi Forensik yang diadakan oleh Wiloka Workshop. Forum ini menghadirkan Ibu Dra. Reni Kusumowardhani, M.Psi., Psikolog. Beliau merupakan seorang pakar psikologi forensik dan ketua Asosiasi Psikolog Forensik (APSIFOR). Dua hari saja bertemu beliau, namun begitu banyaknya pelajaran yang saya dapatkan dari sosok wanita pejuang ini. Wow..
Secara sederhana psikologi forensik merupakan sebuah disiplin penerapan ilmu psikologi di ranah hukum. Umumnya, seorang psikolog forensik akan membantu penegak hukum dalam mendampingi para tersangka, saksi ataupun korban. Namun secara khusus, seorang psikolog forensik juga diandalkan dalam mencari informasi yang tidak bisa ataupun sulit diakses oleh penegak hukum. Misalkan, sebuah kasus yang melibatkan seseorang retardasi mental sebagai saksinya. Tentu akan sangat sulit bagi penegak hukum yang kurang paham dengan aspek dinamika psikologis manusia untuk meminta keterangan saksi. Maka diperlukanlah seorang psikolog yang dekat dengan aspek psikologi manusia, namun juga memiliki pemahaman terhadap hukum. Disinilah disiplin psikologi forensik dibutuhkan.
Dalam Forum Belajar, Ibu Reni selalu menekankan pentingnya penerimaan terhadap diri korban, saksi, maupun tersangka. Penerimaan ini tidak berarti kita menerima perbuatan yang telah dilakukan tersangka ataupun meremehkan peristiwa yang dialami korban. Akan tetapi penerimaan ini berarti bahwa semuanya setara di depan hukum. Penegakkan hukum yang baik akan selalu berdasar pada hak asasi manusia. Oleh karenanya psikologi forensik sangat menekankan pendekatan yang humanis kepada pihak yang terlibat. Psikologi forensik menentang adanya praktik-praktik kekerasan fisik atau psikologis yang dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dan keterangan. Membangun rapport atau hubungan baik antara psikolog dengan pihak terlibat merupakan kunci awal dalam menerapkan psikologi forensik. Rapport merupakan sebuah bentuk kepercayaan antar psikolog dan pihak terlibat. Tujuannya agar pihak terlibat mampu menceritakan kejadian apa adanya. 
“Semua demi keadilan.”
-Dra. Reni Kusumowardhani, M.Psi., Psikolog
Selain memperhatikan kesejahteraan pihak terlibat dalam proses penyidikan, psikologi forensik juga memiliki kewajiban untuk memastikan tidak ada bias-bias subjektif yang mempengaruhi kebenaran peristiwa. Bias ini banyak sekali bentuknya mulai dari stereotipe, keadaan emosi, keterbatasan memori dan kurang dipahamnya dinamika psikologis pihak terlibat. Bias ini mungkin sekali dialami oleh penegak hukum, pihak terlibat, dan bahkan praktisi psikologi forensik sendiri. Inilah alasan mengapa para ahli psikologi forensik berupaya keras merangkai berbagai teknik wawancara. Teknik wawancara ini memiliki trik-trik khusus untuk memastikan proses mengingat tidak terganggu oleh bias-bias tersebut. 
Psikologi forensik memang masih tergolong muda di Indonesia. Namun, kemapanan psikologi forensik sudah dibuktikan dengan sumbangsihnya pada berbagai kasus kompleks. Mempelajari psikologi forensik membuat saya kembali mengingat bahwa hukum pada dasarnya merupakan sarana meningkatkan kesejahteraan manusia. Oleh karenanya, penegakkan hukum yang baik akan selalu berdasar pada hak asasi manusia.
*penulis adalah mahasiswa magang Wiloka Workshop batch 2


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: