Oleh : Retno Hayu Setuti Anindita, S.Psi.
“Jadi orang itu harus bersyukur, jangan ngeluh terus”.
“Kamu mending cuma begitu doang, aku udah jatuh pake ketimpa tangga pula”.
“Mungkin semesta belum merestui, jadi nggak bisa ketemu. Nggak usah sedih”.
Pernah mendengar “nasihat” di atas? Atau jangan-jangan kita sering mengucapkan kalimat tersebut ketika dicurhati seorang teman yang sedang patah hati karena diselingkuhi?. Saya pertama kali membaca postingan dr. Jiemi Ardian Sp. KJ di Twitter pada tanggal 14 Februari 2019 agak bingung. Toxic Positivy?? Toxic tapi kok positif sih, maksudnya gimana nih? Bukannya kalau kita kasih semangat ke orang lain itu bagus ya? Kok malah dianggap toxic?
Mengutip dari themighty.com; Toxic Positivity mengacu pada konsep yang berfokus pada emosi positif, dan menolak segala sesuatu yang dapat memicu emosi negatif, di mana cara tersebut adalah cara yang dianggap tepat untuk menjalani hidup. Seolah-olah mereka “memvalidasi” emosi atau perasaan negatif mereka agar baik baik saja.
Memangnya ada yang salah dari kata-kata positif? Bukankah kita memang seharusnya melihat dan menyikapi dunia dengan positif ya? Memang tidak ada salahnya dengan kalimat atau nasihat dengan kalimat positif, bahkan dalam dunia pengasuhan memang harus membiasakan anak dengan kalimat positif ketika hendak memperingatkan anak. Namun bagi teman-teman yang perasaannya sedang kalut, kata-kata motivasi atau semangat seperti “Nggak apa-apa, yang lebih parah dari kamu banyak”, itu justru membuat mereka semakin terpuruk. Mereka yang sedang berjuang dengan “kesedihannya” sejatinya pasti ingin bahagia seperti teman-teman yang lain, tapi mereka ternyata tidak sekuat yang mereka kira.
Pernah saya dengar cerita seorang pelajar perempuan yang menjadi korban perkosaan datang ke psikolog dan kemudian mendapat nasihat “Kamu harus sering berdoa, minta ampunan sama Tuhan. Dosa itu”, padahal hari di mana dia pergi ke psikolog adalah hari di mana akhirnya dia memutuskan keluar rumah untuk mencari bantuan profesional, setelah sepuluh hari dia tidak keluar kamar karena sibuk bersuci dan bersujud meminta ampunan. “Aku hanya butuh dikuatkan, aku perlu tahu, apakah aku akan baik-baik saja menghadapi dunia ini?” Begitu tulisan yang ditemukan di meja belajarnya sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan memotong nadi.
“Terus gimana dong mbak??, Masa ada orang lagi ngedrop nggak kita semangatin sih? Nggak care itu namanya”. Kalau kamu memang care dengan teman atau saudaramu yang sedang terpuruk, seharusnya kamu bantu dia untuk mengenali dan menerima emosi negatif yang sedang dirasakannya itu. Baru setelahnya bisa dibantu untuk memvalidasi emosinya agar lebih nyaman dulu. Ungkapan nasihat kehidupan perlu ditunda dulu. Ingat, kita bukan pemuka agama lho dalam konteks ini.
Terkadang nasihat positif kita bisa membuat seseorang menjadi makin terpuruk. Jika ada seseorang datang padamu sambil menangis tersedu, bisa jadi yang dibutuhkan hanya pelukan hangat seorang sahabat, bukan nasihat panjang untuk teguh mendongak melawan kehidupan. Empati bukan positivity! Kadang yang dibutuhkan adalah dimengerti tidak perlu disemangati.
Jadi, bagaimana kita sebagai pendengar dapat mendengarkan dengan empati tanpa menasihati? Tanyakan saja, “kamu butuh aku dengerin aja atau aku harus kasih masukan buatmu?”. Disadari atau tidak, sering kali yang lebih susah adalah bagaimana mengontrol mulut kita (sebagai pendengar) untuk tidak asal komentar ketika mendengarkan cerita. Betul, apa betul? Hehehe.
Lalu apa bedanya Empati dan Toxic Positivity?? Saya coba kutip dari tulisan dr. Jiemi Ardian melalui Twitter 14 Februari 2019 agar lebih mudah membedakan:
Empathy | Toxic Positivity |
Menyerah memang kadang baik, tapi coba kita pikirkan target apa yang bisa kita capai sekarang? | Jangan menyerah! |
Wajar kok jika kita merasa kecewa dalam keadaan ini | Kamu kurang bersyukur! |
Ada kalanya sesuatu terjadi tidak sesuai seperti apa yang kita inginkan. Kira-kira, apa kelebihan dari hal ini? | Tetap positif! |
Aku pikir kamu pasti merasa berat saat ini ya. Tapi kita pernah melewatinya, dan kita akan melewatinya | Halah kamu baru gitu aja, aku udah pernah lebih parah |
Berpikir secara positif itu perlu, namun juga harus melihat realitanya bagaimana. Jika realitanya tidak positif, tidak perlu memaksakan untuk menjadi positif. Ingat, segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.
Daftar acuan:
https://themighty.com/topic/toxicpositivity/
0 Comments