Oleh: Mufliha Fahmi, S, Psi., M.Psi.,Psikolog
Beberapa hari yang lalu, salah seorang teman menuliskan kabar duka di akun media sosial pribadinya.  Ia baru saja kehilangan ibu yang sangat dicintainya. Kabar itu sontak membuatku ikut bersedih. Tak banyak yang dapat kulakukan selain menyatakan ikut berduka atas kehilangannya. Ingin menghibur teman itu secara langsung, tapi kami berbeda kota. Satu minggu setelah hari berkabung, teman tadi mengirim pesan ke dalam kotak masuk Facebook-ku. “Apa yang bisa saya lakukan untuk lekas recovery dari rasa kehilangan akan Ibu? Sekarang ini saya lemes, pusing. Makan banyak, tapi karena memang harus makan. Belum ada selera, belum bisa menikmati makanan. Khawatir pengaruh dari perasaan terbawa ke fisik.” Begitu isi pesannya.
Membaca pesan itu, Aku sempat termenung beberapa saat. Baru seminggu teman ini kehilangan ibunya, namun kemudian ada berbagai kecamuk pikiran yang mengganggu. Respon stres yang ia alami sangat bisa dimengerti. Hal yang wajar ketika ia merasakan berbagai ketidaknyamanan emosi dan fisik sebagai respon dari peristiwa yang dialami. Tapi kemudian ternyata hal itu menimbulkan rasa khawatir dalam dirinya, bahwa kondisi pada tubuh dan perilakunya saat ini dapat membuatnya jatuh sakit. Tampaknya, hal tersebut menjadi alasan mengapa dia ingin segera terbebas dari tekanan, walaupun bisa jadi apa yang dialami merupakan hal normal. Seperti temanku ini, ada banyak orang yang penuh gelisah terhadap situasi stres yang dialami. Bukan hanya disebabkan bagaimana tekanan itu menimbulkan gejolak emosional dan pikiran, namun juga tekanan lain karena khawatir akan dampak stres yang sedang dialami. 
Berbicara tentang stres, banyak informasi yang perlu dipahami. Sering kali stres lebih diasosiasikan sebagai hal negatif. Secara umum, stres bahkan diyakini sebagai salah satu penyebab menurunnya kualitas kesehatan. Stres biasa dikaitkan dengan penyakit jantung hingga penyakit kulit.Sebuah saran yang lazim kita dengar dari praktisi kesehatan, baik dokter maupun perawat, menyarankan agar kita menghindari stres agar tidak jatuh sakit. “Jangan stres ya, Mbak, nanti sakitnya ndak sembuh – sembuh.”  Begitu kata seorang dokter ketika aku mendatanginya karena suatu penyakit autoimun. Tak sekali dua kali aku mendengar nasihat seperti di atas. Bahkan dokter sekalipun, sering kali terjebak dalam mitos stres.
Mitos stres? Yup! Meyakini stres sebagai hal yang negatif merupakan bagian dari proses berkembangnya mitos stres. Kelly McGonigal, seorang psikolog kesehatan berkebangsaan Amerika Serikat, pernah mengemukakan hal menarik terkait stres, yang berbeda dari keyakinan banyak orang. Dalam ceramahnya yang disampaikan dalam sebuah acara Ted Talk, Kelly McGonigal menjabarkan sebuah studi yang menunjukkan bahwa stres tidak selalu berdampak buruk bagi kesehatan. Studi tersebut menunjukkan bahwa stres memang dapat meningkatkan angka risiko kematian, namun hal ini hanya berlaku bagi orang-orang yang percaya bahwa stres berbahaya bagi kesehatan dirinya. Sedangkan orang-orang yang tidak meyakini stres buruk bagi kesehatannya,  sama sekali tidak terpengaruh oleh risiko kematian tersebut, bahkan jika dibandingkan dari orang-orang yang mengalami stres yang lebih sedikit. Temuan ini menghasilkan cara pandang baru terhadap stres, yaitu dampak stres bagi kesehatan amat dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap stres itu sendiri. Dengan kata lain, bukan stres yang berbahaya bagi kesehatan, tapi keyakinan bahwa stres buruk bagi kesehatanlah yang memperburuk kesehatan itu sendiri.
Lalu, bagaimana jika kita mengubah cara pandang terhadap stres menjadi lebih positif? Tim peneliti dari Harvard University menemukan hal yang menarik tentang ini. Perubahan cara pandang terhadap stres ternyata juga mengubah respon tubuh seseorang terhadap stres. Jantung berdegup kencang, tubuh berkeringat, dan cepatnya tarikan nafas menjadi respon tipikal tubuh terhadap stres. Ketika kita menafsirkan gejala–gejala stres ini sebagai kecemasan atau ketidakmampuan mengatasi tekanan, maka pembuluh darah di dalam tubuh akan semakin cenderung menyempit. Pembuluh darah yang menyempit, apalagi dalam waktu yang lama, tentu bukan kondisi yang baik bagi jantung kita.Inilah alasan mengapa stres kronis sering dikaitkan dengan penyakit jantung. Uniknya, saat kita mampu menyikapi stres secara lebih positif maka pembuluh darah yang tadinya menyempit menjadi lebih lapang atau rileks. Beberapa cara yang dapat kita lakukan misalnya memandang gejala – gejala stres tersebut sebagai hal yang bermanfaat bagi diri kita. Misalnya jantung yang berdegup kencang dilihat sebagai tanda bahwa tubuh kita siap untuk beraksi, nafas yang semakin cepat bukanlah masalah karena semakin banyak oksigen yang dikirimkan ke otak, dan sebagainya. Sebetulnya,  kondisi pembuluh darah pada saat kita memandang stres secara positif justru sama dengan kondisi saat kita merasa gembira dan berani. Tak hanya itu, memandang stres secara lebih positif juga membuat individu menjadi lebih tenang dan lebih percaya diri dalam menghadapi masalah.
Hasil penelitian – penelitian ini setidaknya dapat membuat kita belajar mengubah cara pandang tentang stres, dari sudut pandang negatif menuju sudut pandang yang lebih positif. Di sisi lain, sebetulnya memandang stres secara negatif dan selalu berusaha menghindarinya justru merupakan suatu  tindakan yang tidak realistis. Stres akan selalu hadir dalam perjalanan hidup kita, justru tidak sehat jika kita terus menerus menghindarinya. Menurut Stanley Kutcher, seorang psikiater berkebangsaan Kanada yang berfokus pada kajian – kajian literasi kesehatan mental, stres sejatinya hadir sebagai sarana belajar dan beradaptasi bagi manusia. Dengan mengatasi stres lah manusia akan mampu mengembangkan diri dan mempelajari hal – hal baru dalam hidupnya. 
Maka dari itu, yuk ubah cara kita dalam menyikapi ketika menghadapi stres. Kunci dalam menaklukkan stres adalah dengan menerima dan menghadapinya, bukan menghindarinya.
Sumber Bacaan
Video Kelly McGonigal: https://www.youtube.com/watch?v=RcGyVTAoXEU&t=20s
Keller, A., Litzelman, K., Wisk, LE., Maddox, T., Cheng, ER., Creswell, PD., & Wilt, WP. (2012). Does the perception that stress affects health matter? The association with health and mortality. Health Psychology, 31(5), 677 – 684. 
Jamieson, JP., Nock, MK., Mendes, WB. (2012). Mind over matter: Reappraising arousal improves cardiovascular and cognitive response to stress. Journal of Experimental Psychology: General, 141(3), 417 – 422. 

0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: