Oleh: Lucia Peppy Novianti, S.Psi., M.Psi., Psikolog
“Ibu, kenapa sih kok truk rodanya empat?”
“Ayah, kenapa kok rumah nenek itu jauh sih?”
Pertanyaan-pertanyaan buah hati sering kali ajaib ya Ayah dan Ibu? Tidak jarang, orang tua merasa kesulitan menjawab pertanyaan anak. Padahal, bila dilihat sekilah sebetulnya pertanyaan anak itu sederhana tetapi menjadi terasa sulit karena orang tua kurang berfokus kepada kebutuhan anak. Banyak orang tua yang kemudian meminta anaknya tidak bertanya-tanya lagi. Orang tua pun langsung menghardik atau menyuruh anaknya diam daripada bertanya terus. Padahal, anak yang terus bertanya menandakan proses berpikirnya yang sedang berkembang dan melesat. Apakah Ayah dan Ibu ingin mematikan perkembangan ini? Tentunya tidak kan?
Bagaimana ya cara kita orang tua untuk mempersiapkan diri menghadapi buah hati yang penuh keingintahuan ini? Selain membekali diri dengan pengetahuan (orang tua memang harus selalu belajar kannnn) ada beberapa bekal yang perlu dketahui agar lebih siap menghadapi. Yuk kita tengok sebentar…
1. Pahami kemampuan dan cara berpikir anak
Proses berpikir (kognitif) anak memiliki kemampuan yang berbeda sesuai dengan usianya. Memahami bagaimana kemampuan berpikir anak akan membantu orang tua untuk menyusun penjelasan supaya dapat mudah dipahami anak. Karena ketidakpahaman tentang apa yang sebetulnya sedang menjadi pemikiran anak, sering kali orang tua menjelaskan dengan berlebihan atau terlalu rumit pula. Anak justru bisa jadi tidak memahami pesan yang disampaikan orang tuanya. Selain itu, memahami kemampuan berpikir anak sesuai usia akan dapat membantu orang tua juga supaya tidak menjadi terlalu tegang dengan menghadapi pertanyaan-pertanyaan anak.
Seorang ahli Psikologi menggambarkan perkembangan kemampuan berpikir anak sesuai usianya sebagai berikut:
a.Tahap sensorimotorik (usia bayi baru lahir sampai 2 tahun)
Pada tahap ini, proses kognitif di otak lebih untuk menstimulasi gerakan motorik tubuh. Hasil berpikirnya akan banyak berwujud reaksi fisik (tubuh) seperti perintah untuk menggerakan kaki dan tangan, berguling, ataupun mengunyah. Walaupun demikian, sebetulnya anak pada usia ini juga telah mulai mampu menandai orang-orang di sekitarnya dan merasakan stimulus bernuansa emosi yang diberikan kepadanya. Namun, anak memang belum terlalu mampu merespon stimulus dengan lengkap secara verbal (dalam bentuk kata-kata).
b.Tahap pra operasional (usia 2-6 tahun)
Anak-anak sudah akan mampu menyampaikan pemikirannya dalam bentuk ungkapan maupun perilaku. Apa yang dilakukan oleh anak sudah merupakan hasil dari olah pikirnya secara sederhana. Pada tahapan ini anak juga sudah mulai menunjukkan diri sebagai penduplikat ulung, yakni mampu mencontoh perilaku orang lain atau lingkungan sekitarnya. Selain itu, yang sangat khas pada tahap usia ini adalah sifat egosentrisnya. Anak masih belum dapat memahami suatu hal dari sudut pikir orang lain, semua berpusat pada diri sendiri, termasuk belum mampu pula memahami lawan kata atau kebalikan arah. Untuk memberi pemahaman pada anak usia ini, orang tua perlu menggunakan bahasa sederhana, dengan contoh nyata (bahkan akan semakin terbantu dengan menggunakan semacam alat peraga atau gambar visual), serta diikuti dengan penalaran yang bersumber dari dirinya sebagai subjek utama.Sebagai contoh untuk menjelaskan mengapa tidak boleh merebut mainan dari anak lain yang sedang bermain, orang tua dapat memberi pemahaman dengan bertanya bagaimana yang dirasakan anak bila mainannya diambil paksa oleh teman lain di saat ia sedang asik bermain. Cara ini akan lebih efektif karena anak memiliki gambaran yang jelas.
c.Tahap operasional konkrit (7-11 tahun)
Anak-anak akan mulai dapat melihat suatu hal dari sudut pandang lain. Oleh karena itu, anak sudah akan mampu diajak merasakan situasi orang lain, memahami kondisi orang ataupun berpendapat atas apa yang dilihatnya. Anak juga sudah dapat berpikir pengelompokan maupun sebab akibat sederhana. Namun tetap saja pada usia ini anak-anak masih membutuhkan adanya contoh konkret ketika dijelaskan. Nah, menyikapi pertanyaan dari anak usia ini, orang tua dapat pula menanyakan pendapat anak terlebih dahulu sebelum memberikan jawaban kepada anak. Hal ini juga untuk menjembatani agar tidak terjadi perbedaan persepsi antara orang tua dan anak tentang fokus topik yang ditanyakan.
d.Tahap operasional formal ( 11 tahun ke atas)
Pada tahap ini, anak telah mampu berpikir abstrak, teoritis, dapat menganalisis masalah maupun sebab akibat. Anak dapat berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi secara logis. Pada usia ini orang tua perlu mulai mengajak anak untuk berdiskusi dan berdialog terutama pada hal-hal yang menyangkut kepentingan dan keputusan pada anak. Hal ini akan membuat anak merasa dipahami oleh orang tua.
Lalu apa manfaatnya dengan mengetahui kemampuan berpikir anak sesuai usianya ini? Dengan mengetahui kemampuan pikir anak, orang tua dapat menyiasati bagaimana merangkai dan merancang cara menjawab pertanyaan anak. Kadang kala orang tua sudah merasa memberikan jawaban kepada anak sesuai pertanyaannya, namun anak seperti tidak memahami. Coba dilihat, apakah cara orang tua dalam menyampaikan sudah tepat? Tepat di sini maksudnya orang tua telah membungkus jawaban sesuai kemampuan berpikir anak atau belum ya? Jangan-jangan, Ayah dan Ibu masih menggunakan bahasa seperti bila berbicara dengan temannya sehingga sebetulnya anak tidak paham apa yang disampikan orangtuanya?
2. Orang tua berperan sebagai fasilitator daripada hanya sebagai kamus jawaban anak
Ketika anak sedang dalam fase banyak bertanya, sebetulnya ini menandakan anak yang sedang mengalami lecutan-lecutan pada kognitifnya. Ini berarti anak sedang dalam fase kritikal untuk diasah kemampuan berpikirnya. Orang tua juga dapat menangkap ‘moment’ ini dengan menjadikan pertanyaan-pertanyaan anak tersebut sebagai media untuk semakin mengasah kemampuan pikirnya. Alih-alih langsung memberikan jawaban, bagaimana bila orang tua bertindak sebagai pemandu agar anak dapat memeroleh jawabannya sendiri. Misalnya ketika anak bertanya “Habis hari selasa itu hari apa sih bu“, maka alih-alih menjawab langsung hari rabu, bagaimana bila mengajak anak untuk mengingat misalnya dengan menggunakan media lagu anak ‘nama-nama hari’? Dengan begitu, selain anak terpenuhi keingintahuannya, anak juga sekaligus mengasah kemampuan berpikirnya bukan?
3. Bertanya terlebih dahulu apa maksud pertanyaan anak
Ketika dihadapkan pada suatu pertanyaan, terlebih pertanyaan yang terkesan sulit dijawab, orang tua sering kali menjadi panik. Misalnya, ketika anak kita berusia 5 tahun sepulang sekolah berkata Ibu besok aku boleh ya menikah dengan Rere. Ah betapa kaget dan syoknya pasti bila langsung memaknai kata menikah seperti gambaran makna menikah dalam kamus besar bahasa Indonesia. Apakah makna itu yang dipersepsi anak? Maka, menanyakan kepada anak untuk memastikan apa yang sedang ia tanyakan juga perlu lho Ayah dan Ibu. Hal ini untuk menghindarkan orang tua dari respon kepanikan dan terutama untuk dapat memberikan respon jawaban yang terbaik dan memang dibutuhkan anak.
4. Oke aja lho bila Orang tua menjawab ‘tidak tahu’, namun diikuti dengan penjelasan ya…
Tidak jarang, orang tua merasa khawatir ketika mereka tidak mampu memberi jawaban kepada anaknya. Atau merasa harga dirinya turun karena tidak mampu menjawab semua pertanyaan anak. Kekhawatiran ini dapat berdampak positif bila ditindaki dengan kemauan orang tua untuk lebih banyak membaca atau mencari informasi lebih lanjut. Namun, tidak jarang juga kekhawatiran ini justru membuat orang tua membatasi anak untuk bertanya. Bila sikap ini yang justru muncul maka akan malah membawa dampak negatif bagi anak donk. Ketika Orang tua merasa tidak tahu jawaban pertanyaan yang diajukan anak, sangat diperbolehkan lho untuk jujur kepada anak bahwa Ayah tidak tahu jawabannya. Ini pun menunjukkan sikap orang tua tentang kejujuran dan apa adanya. Salah satu sikap yang tentunya diinginkan orang tua agar dimiliki anak kan. Namun, memang pernyataan ‘ketidaktahuan ini’ perlu ditindaki dengan sikap berusaha. Setelah bersikap jujur akan ketidaktahuan, orang tua perlu pula menunjukkan kepada anak bahwa Ayah (atau orang tua) akan mencari tahu lebih lanjut supaya dapat menjawab pertanyaan tersebut. Orang tua pun dapat mengajak anak untuk mencari jawaban bersama-sama, misalnya melalui buku atau internet. Sikap ini akan sekaligus memberikan contoh nyata kepada anak ketika menghadapi situasi tidak tahu tentang sesuatu selain bertanya.
Semoga bekal-bekal di atas dapat membantu Ayah Ibu ya untuk merespon anak yang sedang terlecut pikirannya dengan lebih tepat dan penuh ketenangan. Semangat…….
Like this:
Like Loading...
0 Comments