Oleh: Lili Lailatul Al Fitri
Kasus kekerasan seksual menjadi isu yang seringkali keberadaannya dimunculkan di berbagai platform media sosial. Ketakutan para korban kekerasan dalam mengungkapkan fakta yang mereka alami membuat mereka terdorong untuk memilih berbicara melalui jagat dunia maya. Daripada dunia nyata, di sana mereka seakan mendapatkan tempat untuk lebih terbuka terhadap apa yang dialaminya. Namun, tetap saja dibutuhkan kehati-hatian pula dalam prosesnya karena seringkali semua pernyataannya mampu dianggap sebagai tuduhan yang menjadi boomerang bagi dirinya.
Penelitian yang dilakukan oleh dosen Universitas Indonesia, Endah Triastuti bersama timnya membuktikan bahwa platform media sosial telah mampu menyediakan ruang untuk menampilkan realitas yang ada di lapangan, misalnya saja kekerasan seksual oleh masyarakat yang “berkuasa”. Hasil penelitian tadi sejalan dengan ramainya kasus kekerasan seksual yang terekspos ke ranah publik yang bersumber dari akun-akun pribadi korban atau orang-orang terdekatnya di platform media sosialnya (Triastuti. E., 2022). Lain halnya dengan kondisi di luar negeri yang menunjukkan bahwa media sosial menjadi sarang kejahatan terhadap wanita. Di Indonesia sendiri, media sosial mampu menjadi media dalam memberi dukungan dan penguatan, serta menghindari tuduhan atau cemooh maupun tekanan dari masyarakat.
Lantas, apa sebenarnya yang mendorong para penyintas kekerasan seksual untuk mengungkapkan kisah mereka melalui media sosial? Kita bisa mengatakan bahwa alasannya adalah kegagalan institusi penegak hukum, norma yang berlaku di masyarakat, stigma yang akan muncul, dan sebagainya. Namun, terkadang kita melupakan bahwa ada faktor ketidakpercayaan publik terhadap para penyintas yang seringkali membuat mereka enggan bersuara. Dan pada akhirnya mereka memilih bercerita di media sosial sebagai ruang alternatif yang berkembang di internet (McLean dan Maalsen, 2013). Selain itu, melalui media sosial, para penyintas juga merasa diberikan kenyamanan yang mampu memperkecil ruang ancaman dan pelecehan yang mampu terulang. Mereka juga mampu menemukan media sebagai penguat emosional serta psikologis dan cenderung dapat menghindari tekanan masyarakat seperti yang disebutkan tadi (Triastuti. E., 2022).
Kita sebagai masyarakat perlu berperan berada pada sisi mereka, para penyintas. Mengapa? Karena hubungan kuasanya, karena situasinya yang timpang, karena ketidakadilan yang seringkali muncul. Seorang penyintas, siapapun posisi mereka, seperti apapun orangnya, mereka akan selalu ada di posisi yang lemah (Mariani, E., 2022). Terlebih, para penyintas merupakan seseorang yang sudah pernah mengalami kekerasan, sehingga kapasitas mental dan fisik mereka hampir selalu dilemahkan oleh kekerasan yang telah menimpanya. Mereka berada pada posisi korban pun salah satunya karena posisinya yang ada dalam relasi kuasa yang tidak setara.
Apa yang bisa kita lakukan jika kita berhadapan dengan kasus kekerasan seksual? Yang pertama, kita perlu hadir sebagai pendengar. Sebagai pendengar, yang pertama kita lakukan ketika berhadapan dengan penyintas kekerasan seksual adalah menunjukkan sikap percaya. Bahwa kita mempercayai apa yang dirasakan oleh para penyintas tersebut. Berikutnya, kita juga perlu melanjutkan dengan menjadi pengguna media sosial yang bijak. Kita perlu berlatih memilah mana berita atau cerita yang sejatinya benar dan harus kita kawal prosesnya agar tidak terjadi salah sasaran. Menjadi pengguna media sosial yang kritis dan cerdas di masa sekarang ini akan sangat berguna, tidak hanya untuk menyikapi setiap kasus secara tepat namun agar juga tidak mudah terjebak pada kondisi manipulasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab (Alifia, A.P., 2022) .
Referensi
Mariani, E. (2022, May 27). Tak Ada Jalan Lain Selain Maju Terus Bersama Penyintas Kekerasan Seksual. Project Multatuli. https://projectmultatuli.org/tak-ada-jalan-lain-selain-maju-terus-bersama-penyintas-kekerasan-seksual/
McLean, J., & Maalsen, S. (2013). Destroying the joint and dying of Shame? A geography OF Revitalised feminism in social media and beyond. Geographical Research, 51(3), 243-256. doi:10.1111/1745-5871.12023
Triastuti, E. (2022, January 12). Penyintas kekerasan seksual menemukan ruang aman, dukungan, dan penghiburan di media sosial. The Conversation. https://theconversation.com/penyintas-kekerasan-seksual-menemukan-ruang-aman-dukungan-dan-penghiburan-di-media-sosial-167558
Alifia, A.P. (2022, December). Keadilan yang Tertunda: Bunga Rampai Kekerasan Seksual. Himpunan Mahasiswa Sosiologi Universitas Indonesia.
* Penulis merupakan mahasiswa magang di Wiloka Workshop
0 Comments