Oleh: Agnes Angelina Paramita

Perbuatan terhadap seseorang yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis yang sifatnya melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (n.d.)

Paradoks kekerasan dalam rumah tangga

“Kekerasan” menjadi sebuah kata yang ramai disuarakan di masyarakat saat ini. Melalui berbagai alasan pelaku kekerasan berlindung untuk membenarkan tindak kekerasan yang dilakukan. Apabila kita sempat bertanya-tanya

“Mungkinkah manusia tidak memanusiakan manusia lain yang hidup bersama dengan mereka sebagai sebuah keluarga, tempat mereka ‘pulang’ dari kepenatan hidup sehari-hari?”

maka kita perlu menilik data kasus kekerasan yang dihimpun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (2022). Berdasarkan data tersebut, terdapat 14.559 kasus kekerasan di Indonesia sejak Januari 2022, di mana sebanyak 62% kekerasan terjadi pada setting rumah tangga. Persentase tersebut cukup memberi gambaran bahwa dalam keluarga, tempat di mana seseorang seharusnya memperoleh perlindungan dan dukungan, seseorang dapat menjadi pelaku dan korban kekerasan.

 

Anak: korban pasif KDRT yang sering dilupakan

Ketika konflik dan kekerasan terjadi antara kedua orang tua, muncul anggapan bahwa anak akan baik-baik saja selama tidak menjadi pelaku maupun korban kekerasan. Namun kenyataannya, pertumbuhan dan perkembangan anak dapat ikut terganggu dengan menyaksikan dan/atau mengetahui kekerasan yang terjadi. Humphreys dkk. (2008) menemukan bahwa pada bayi, menyaksikan KDRT akan merenggangkan kedekatan fisik orang tua-anak karena respon ketidaknyamanan anak. Anak tersebut juga rentan memiliki kebiasaan menangis berlebihan, tantrum, hingga gangguan tidur. Sementara itu, pada anak usia prasekolah, anak rentan dengan perilaku mengompol, memiliki gangguan makan, hingga menyalahkan diri atas konflik yang terjadi pada orang tua. Pada anak usia sekolah ke atas, paparan negatif dari konflik KDRT merambah pada memburuknya performa akademik dan pertemanan dengan teman sebaya. Anak juga berpotensi melakukan perilaku antisosial, seperti menyakiti hewan, merusak fasilitas umum, atau mengonsumsi alkohol. Pada situasi yang membuat anak frustasi, anak dapat memiliki pemikiran untuk kabur dari rumah hingga menyakiti diri sendiri.

 

Apa ya yang dapat kita lakukan?

Menurut Richards (2011), terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan oleh orang terdekat anak (seperti guru dan saudara) untuk menanggulangi kemunculan dampak-dampak negatif pada anak akibat menyaksikan KDRT yang terjadi pada orang tua:

  • Orang terdekat dapat menyediakan diri mereka sebagai ruang bagi anak untuk menceritakan dan mengakui pengalaman hidup mereka dalam menyaksikan kekerasan.
  • Orang terdekat anak dapat membantu anak mengekspresikan perasaan negatifnya dengan cara yang konstruktif, seperti menulis buku harian, melukis, menari, dan terlibat dalam permainan drama.
  • Orang terdekat anak juga dapat berperan aktif mencarikan komunitas suportif yang dapat menjadi sarana anak mengekspresikan perasaan negatifnya, seperti klub teater, komunitas keagamaan, dan sanggar melukis.

Sebagai langkah pencegahan, dokter kandungan serta profesional kesehatan mental juga memiliki peran penting (Stiles, 2002), yakni sebagai berikut:

  • Saat pasangan melakukan konsultasi perencanaan kehamilan, dokter dapat memberikan edukasi mengenai dampak negatif pertengkaran dan kekerasan antara pasangan yang mampu muncul pada anak. Dokter juga perlu mengimbau pasangan untuk secara konsisten menjauhkan anak dari perselisihan orang tua.
  • Dalam menangani klien yang merupakan korban KDRT, profesional kesehatan mental perlu memperhatikan keberadaan anak dalam keluarga dan menyarankan pengadaan sesi pemeriksaan untuk anak apabila dirasa diperlukan.

 

Anak-anak merupakan calon garda terdepan pembangunan bangsa. Merupakan kewajiban bagi kita untuk memastikan paparan dan dukungan yang layak bagi perkembangan diri mereka. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih memperhatikan keberadaan anak-anak di tengah konflik yang terjadi dalam rumah tangga. Yuk Teman Wiloka, mari kita berikan mereka dukungan yang optimal sesuai kemampuan kita!

 

Referensi:

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia. (n.d.). Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring – KDRT. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kdrt

Humphreys, C., Houghton, C., dan Ellis, J. W. (2008), Literature Review: Better outcomes for children and young people exposed to domestic abuse – directions for good practice.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. (2022). Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak – Ringkasan. https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan

Richards, K. (2011). Children’s exposure to domestic violence in Australia. Trends & issues in crine and criminal justice, 419.

Stiles, M. M. (2002). Witnessing Domestic Violence: The Effect on Children. American Family Physician, 66(11).

*Penulis merupakan mahasiswa magang Wiloka Workshop

Categories: Keluarga

0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: