Oleh: Lucia Peppy Novianti, M.Psi, Psikolog
“Oh Tuhan…mengapa sulit sekali. Lagi-lagi dimuntahkan…. Ayo donk nak makan”
Beberapa Ibu pasti pernah merasakan situasi semacam ini. Sudah melakukan segala daya upaya untuk membuat anaknya mau makan, namun tetap saja si anak melepeh makanan tersebut. Atau bahkan sama sekali menutup mulutnya. Semua cara sudah dilakukan mengacu para ahlinya, baik itu dengan membuat tampilan makanan yang menarik, menggunakan alat makan yang lucu dan menarik, membiarkan anak meraih makanannya sendiri, sampai akhirnya melakukan hal-hal yang dilarang oleh para ahli kesehatan anak, seperti mengajak makan anak sambil jalan-jalan atau bahkan memaksakan anak makan (misalnya dalam istilah Jawa disebut didublak atau dicangarke) sehingga makanan masuk ke tubuh si anak.
Bila berselancar di internet dengan kata kunci ‘anak sulit makan’ atau ‘mengatasi anak sulit makan’, maka akan keluar laman-laman acuan tentang strategi makan dan mengajak makan anak. Ada yang cukup berhasil menggunakan strategi tersebut, namun ada pula yang masih terus berjuang mencari cara yang sesuai bagi buah hatinya. Pada salah satu akun instagram, saya temukan satu pernyataan yang manarik. Pada akun instagram tersebut sebetulnya yang dibahas adalah resep MPASI. Hal yang menarik buat saya adalah kalimat di akhir yang selalu dihadirkan pada setiap resep masakan, seperti ‘setelah selesai dan siap dihidangkan, jangan lupa banyak berdoa agar anak lahap makan dan ajak anak kooperatif untuk makan’. Aha, bukankah ini poin yang penting kan?
Mencoba Memahami Kompleksitas Situasi yang Dialami Anak Ketika Belajar Makan
Pernahkan Ibu dan Ayah mencoba memahami mengapa ya anak sulit makan? Biasanya orangtua akan berpikir tentang apakah anak tidak suka dengan rasanya? Atau bahannya yang tidak suka? Atau persoalan pada tekstur makanannya? Namun, pernahkan mencoba melihat bagaimana persoalan makan itu menjadi suatu hal yang kompleks dan rumit bagi seorang bayi. Sebelum usia 6 bulan, bayi dimanjakan dengan keistimewaan rasa kenyang dengan usaha yang sangat mudah: menghisap saja. Pun hasilnya juga memberikan efek luar biasa: kenyang dan terpenuhi gizi. Setelah 6 bulan, bayi yang mulai diberi tambahan asupan supaya gizi tercukupi menghadapi situasi yang kompleks. Yang awalnya hanya menghisap saja perlu berubah dengan cara mengunyah baru menelan. Dari yang biasanya cair dengan tekstur dan rasa sama menjadi berbagai tekstur yang beraneka ragam, warna yang beraneka ragam, dan nantinya akan tercecap rasa yang beraneka ragam pula. Hal ini masih ditambah dengan standar jumlah yang ditentukan oleh orang lain, bukan dirinya sendiri. Dalam satu waktu bersamaan, para bayi tersebut perlu beradaptasi secara sekaligus akan beberapa hal. Padahal, persoalan makan adalah kebutuhan dasar mereka. Bisakah kita membayangkan bagaimana situasi yang dialaminya? Belum lagi bila ada pemaksaan yang tentu menimbulkan rasa tidak nyaman pada bayi. Atau respon ekspresi tidak menyenangkan dari orang di sekitarnya karena proses makan yang tidak sesuai harapan. Bayi tetap dapat menangkap sinyal tersebut lho..
Memahami Kecemasan dan Kegundahan Orangtua dengan Anak yang Sulit Makan
Anak yang sulit makan, terutama pada usia di bawah satu tahun, pastinya mengundang kegelisahan orangtua karena beberapa hal. Dari persoalan pemenuhan gizi bagi si anak untuk tumbuh kembangnya sampai juga karena tekanan sosial, misalnya dari keluarga, atau sikap membanding-bandingkan oleh orang-orang di sekitar. Penting lho mengidentifikasi sumber kegundahan kita sebagai orangtua. Situasi terjebak pada komparasi daripada kondisi sikap tidak mau makan yang faktual dialami oleh anak akan justru berpotensi menimbulkan dampak negatif pula nantinya. Maksudnya misalnya, ternyata anak sebetulnya sudah makan dan dalam porsi yang cukup namun karena yang ada di benak orangtua adalah standar makan dari bayi lain seusianya maka orangtua menganggap anaknya sulit makan. Hal lain yang perlu dipertimbangkan pula adalah, bagaimana orangtua itu sendiri menyadari akan konteks tidak mau makan dari si anak: apakah anak betul-betul tidak mau makan atau sebetulnya terminologi ini diambil orangtua karena merujuk pada pembandingan dengan hal-hal lain. Nah, coba reviu kembali ke pengalaman dan proses masing-masing, seberapa sih penolakan anak terhadap makan yang terjadi pada buah hati kita? Bagaimana sih situasinya sebetulnya?
Punya Gambaran Konkret tentang “Anakku sudah Mau Makan”
Strategi tentang bagaimana mengajak anak supaya bersemangat dan bersedia melahap habis makanannya telah banyak dibahas oleh para pakar. Nah, sebelum mulai mempraktikkan beberapa strategi tersebut, baik bila orangtua juga membangun pemahaman dasar:
- Apasih yang sedang terjadi pada anak kita: apakah tidak mau makan? Menolak makanan tertentu? Atau kurang porsi makan yang masuk ke tubuhnya? Untuk memastikan situasi ini, orangtua perlu menambah bekal informasi dari para ahlinya. Misalnya memastikan apakah pertumbuhan dan perkembangan anak masih dalam tahap aman ke dokter anak ahli tumbuh kembang. Atau berkonsultasi dengan ahli nutrisi terkait porsi dan manajemen kecukupan gizi pada buah hati. Atau paling sederhana, mencari informasi dari internet namun dipastikan sumbernya terpercaya ya.
- Mencoba mengenali pola penolakan makan pada anak kita. Pola ini bisa saja terkait tekstur, bentuk, jenis atau cara maupun waktu makan. Mengenali pola dapat membantu mencari jalan keluar atas penolakan makan yang sedang terjadi.
- Menyadari apa yang terjadi pada diri kita, orangtua, terkait fase penolakan makan ini. Apakah membuat kita menjadi cemas yang berlebihan. Apakah yang melatari tekanan dalam diri kita? Kekhawatiran tentang kecukupan gizinya? Atau tampilan badan si anak yang tidak seperti anak-anak lain? Tuntutan dan tekanan dari lingkungan sekitar? Atau apa? Menyadari apa yang terjadi pada si orangtua akan dapat membantu orangtua untuk lebih realistis dan rasional menyikapi. Dengan demikian, orangtua akan dapat lebih tenang dan yakin sehingga membuat anak juga akan lebih nyaman berproses ketika memasuki waktu makannya.
Kembali, bahwa mengasuh, termasuk mendampingi anak dangan proses belajar makannya, seharusnya menyenangkan. Bila orangtua merasa penuh tekanan, bagaimana mungkin atmosfer saat itu akan menyenangkan bagi anak? Semangat berproses ya para orangtua.
0 Comments