‘Giant Flora’ - Personal Work
sarathielker.com
 ‘Giant Flora’ - Personal Work
sarathielker.com 

Oleh: Mufliha Fahmi, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Ketika memandu sebuah workshop literasi kesehatan mental beberapa bulan yang lalu, saya mulai dengan mengajukan sebuah pertanyaan, 

“Apa yang pertama kali muncul dalam pikiran Anda ketika mendengar kata gangguan jiwa?”
Jawaban dari peserta workshop antara lain:
Gila.
Stress.
Sinting.
Hilang ingatan.
Tidak waras.
Orang gila.
Hilang kesadaran.
Berkeliaran di jalanan.
Dll.
Jawaban-jawaban yang diberikan oleh peserta workshop kebanyakan merujuk pada kondisi gangguan jiwa berat. Secara teori, gangguan jiwa berat berarti kondisi di mana kesadaran diri terlepas dari realita akibat gempuran delusi (kesalahan mempersepsi) maupun halusinasi (pikiran yang salah) yang dialami oleh seseorang. Seperti halnya kebanyakan orang, para peserta workshop pada kesempatan tersebut pun masih belum memahami bahwa gangguan jiwa memiliki banyak variasi. 
Hilangnya akal sehat yang membuat seseorang bicara sendiri atau senyum-senyum sendiri bukan satu-satunya perwujudan gangguan jiwa. Gangguan jiwa tak selalu berupa gangguan jiwa berat yang membuat orang-orang dikucilkan masyarakat lalu menggelandang di jalanan. Ada jenis-jenis gangguan jiwa yang tak disadari oleh penderitanya dan orang-orang disekitarnya. Ini terjadi karena gangguan jiwa yang pada variasi lain bisa saja tidak menunjukkan gejala ekstrem, sehingga akan tampak seperti orang ‘normal’ saja, perilakunya pun seperti kebanyakan orang bila tidak diamati dengan seksama. 
Gambaran ‘lain’ tentang Gangguan Jiwa
Saya memiliki pengalaman yang akan memberikan gambaran lain tentang kondisi gangguan jiwa. Saat itu saya duduk di kelas 1 sebuah MAN. Pada saat kelas 1 semester 2, saya mengalami situasi di mana saya merasa sedih tanpa tahu penyebabnya. Tidak ada hal buruk yang terjadi ketika itu, tapi perasaan sedih itu begitu mencengkram entah dari mana datangnya. Sebelumnya saya pernah mengalami situasi yang sama, tapi hal tersebut “hanya” berlangsung selama 2-3 minggu, kemudian suasana hati saya membaik kembali. Tapi waktu itu bad mood parah berlangsung selama berbulan-bulan. Saya merasa sedih dan kesal berkepanjangan. Bagaimana pun saya berusaha agar perasaan saya baik-baik saja, hal itu tidak terjadi. Rasanya hampa. Kosong.
Perasaan hampa itu diikuti dengan perasaan tidak berharga. Saya merasa menjadi orang yang tidak ada maknanya. Rasanya tak ada satu pun hal yang dapat saya kerjakan dengan baik. Semakin tersiksa karena saya menemukan diri saya ternyata tidak sehebat yang saya pikir sebelumnya. Saya bukan orang yang kompeten dalam segala hal dan masa depan tampak suram. Saya yang biasanya dikenal penuh semangat dan optimistis berubah menjadi melempem dan sangat pesimis.
Pada saat itu saya masih berangkat sekolah, tapi sangat malas belajar. Di kelas saya lebih banyak bermenung atau tidur diam-diam. Di rumah PR tidak dikerjakan benar-benar. Saya bukan seseorang yang malas belajar sebenarnya, tapi waktu itu badan terasa mudah lelah dan kepala saya terasa pusing hanya dengan memandang wajah Bu Isp***r si guru Fisika. Akhirnya nilai-nilai pelajaran saya pun turun. Tapi berhubung MAN saat itu belum seperti MAN yang sekarang, jadi dengan performa belajar yang buruk itu saya masih masuk 5 besar.
Ketika itu, saya tidak betul-betul ‘berada pada situasi tidak sadar’. Saya tetap dapat menjalankan aktivitas harian, berinteraksi bahkan menjalani proses berpikir di sekolah. Hanya saja ada situasi ketidaknyamanan yang saya alami. Saya tetap penuh kesadaran namun pada saat itu saya sebetulnya juga sedang dalam kondisi ‘mengalami gangguan jiwa’. 
Saya baru memahami apa yang saya alami masa itu setelah saya mengerjakan tesis yang berkaitan dengan literasi kesehatan mental. Ketika membaca banyak buku dan jurnal untuk membangun dasar teori, barulah saya sadar dan yakin bahwa apa yang saya alami 13 tahun silam adalah gejala-gejala depresi. Tak seorang pun yang tahu bahwa saya mengalami gangguan jiwa itu, tidak orang tua, tidak guru, tidak teman-teman, dan tidak pula diri saya sendiri. Gambaran tentang apa itu kesehatan mental, termasuk apa dan bagaimana gangguan jiwa, menjadi salah satu hambatan mengapa orang sering kali salah memahami situasi tidak nyaman yang sedang berlangsung. Gangguan jiwa atau gangguan mental pun dipahami sebatas ketika orang sudah tidak dapat diajak berbicara, seperti tidak sadar, atau tidak nyambung dalam interaksi sehari-hari.
Respon sederhana yang dapat diberikan untuk orang di sekitar kita yang mengalami Gangguan Jiwa
Pada saat itu, saya sedikit terselamatkan oleh sifat saya yang terbuka, ekstrovert kata orang jaman sekarang. Saya berusaha menceritakan kondisi emosi saya kepada salah satu orang yang saya percaya. Namun, responnya saat itu cenderung bingung dengan apa yang saya sampaikan. Dia tak mengatakan apa pun, hanya mendengarkan. Namun, reaksi mendengarkannya itu sudah membuat saya merasa sedikit lega dan senang.
Setelah curhat dengan orang yang saya dapat percaya tersebut, saya masih terus mencari apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa saya terus menerus merasa bersalah dan tak berharga? Akhirnya saya putuskan untuk datang pada guru BK. Sesampainya di sana, saya hanya punya sedikit kesempatan bicara, tapi saya mendapat buaanyaaakk sekali nasihat. Terus terang, saya tidak merasa happy dengan respon  tersebut.
Refleksi saya, ketika kita dipercaya atau ada orang yang datang dengan berbagai keluh kesah tentang dirinya, kesediaan mendengarkan menjadi respon penting yang perlu segera diberikan. Tidak perlu sibuk dengan mencari cara bagaimana menasihati atau memberikan solusi, namun dengan bersedia meluangkan waktu dan telinga dengan sepenuh hati akan dapat menjadi respon penting yang diperlukan baginya.
***
Saya yakin saya bukan satu-satunya orang yang pernah mengalami hal semacam ini. Ada banyak orang di luar sana pernah atau sedang mengalami emosi-emosi atau pikiran-pikiran yang sulit dimengerti oleh dirinya sendiri.
Buat teman-teman yang sedang mengalami kegundahan ini, carilah pertolongan, minimal dengan bercerita pada orang yang dipercaya.
Buat teman-teman yang mengetahui ada seseorang yang sedang berada dalam situasi ini, sediakanlah diri untuk mendengarkannya. Apabila diperlukan bantulah ia untuk mendapatkan pertolongan profesional.
Terakhir, hal yang dapat kita lakukan sama-sama ialah berhenti untuk menghakimi dan memberikan stigma negatif terhadap orang dengan gangguan jiwa. Stigma hanya akan membuat orang dengan gangguan jiwa menutup diri dan tak mendapat pertolongan.
Gangguan jiwa dapat menimpa siapa saja, termasuk diri kita tanpa kita menyadarinya.


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: