Oleh: Lucia Peppy

Sudah hampir setahun kondisi pandemi berjalan. Ada orang yang sudah dapat menyesuaikan dengan pola kehidupan baru namun masih banyak pula yang masih berjuang karena sulit beradaptasi dengan situasi kondisi kehidupan saat ini. Ada orang yang dapat langsung mengambil langkah konstruktif yakni mengubah pikiran agar dapat melanjutkan hidup secara lebih nyaman, namun sebagian orang masih terjebak pada situasi negatif seperti sibuk mengeluh dan menyalahkan pihak lain.

Situasi saat ini memang cukup menantang. Faktanya pula sampai saat ini kondisi belum terkendali. Berbagai dampak pada manusia pun semakin terlihat pada berbagai aspek. Pertama, munculnya rasa lelah dan jenuh, terutama bagi yang selama ini berupaya disiplin dan berhati-hati dalam mematuhi protokol kesehatan. Kedua, kondisi ekonomi yang menekan bagi beberapa kalangan membuat hal terkait upaya preventif atau keterlibatan mengikuti protokol mudah memudar. Ketiga, banyaknya pemberitaan maupun luapan informasi semu, baik berupa informasi salah atau hoax di media sosial, menambah runyam situasi. Kondisi-kondisi tersebut mudah membuat kita kurang termotivasi mematuhi protokol apalagi terlibat dalam menciptakan perilaku sehat dan patuh protokol. Padahal, perlu kerjasama jangka panjang  semua pihak agar pandemi ini dapat segera terkendali.

Untuk dapat melangkah dalam situasi sulit seperti saat ini, tentu sangat diperlukan pengelolaan pribadi agar mental dan psikis dapat terjaga waras. Kewarasan diperlukan agar dapat menjalankan fungsi sehari-hari sehingga kebutuhan hidup dapat terpenuhi. Namun, menghadapi situasi sekitar kita dan kondisi yang penuh dengan tantangan tanpa kejelasan muaranya, apakah masih mungkin kewarasan dapat dijaga? Bagaimana kita dapat mengupayakan kewarasan dalam diri?

 

Terima emosi yang sedang terjadi dan berproses bersama emosi itu.

Ketika mengalami situasi yang tidak menyenangkan, tentu emosi negatif akan menyertai. Namun, bila kondisi  ini dialami terus menerus dan berulang, tentu mudah sekali  memengaruhi suasana hati dan pikiran kita pada situasi negatif. Sebetulnya, ini adalah proses yang wajar. Nah, yang menjadi persoalan adalah apabila emosi yang memang ‘ada’ tersebut kemudian dipaksa untuk tiada atau diabaikan. Pemaksaan pengabaian ini akan dapat menjadi sumber persoalan lain, seperti ketidakwarasan dalam diri.

 Mengabaikan atau memaksa emosi diri untuk tidak ada berarti menekan atau memaksa diri kita. Segala hal yang dipaksakan biasanya berdampak negatif, termasuk sikap menekan emosi yang dirasakan. Bila situasi ini terjadi berulang kali atau dalam jangka panjang, sangat mungkin akan menimbulkan luka bagi diri kita bukan? Alih-alih mengabaikan apalagi memaksa menghapuskan ketika ada emosi negatif yang sedang dirasakan, cobalah untuk sekedar menerima atau mengakui bahwa ‘dia sedang hadir’. Lalu, carilah waktu untuk belajar mengelola emosi. Dengan demikian, tidak hanya  kita mampu mengenali dan menyadari situasi perasaan namun  pengalaman emosional negatif yang sedang terjadi tersebut dapat juga diolah. Harapannya, upaya mengelola emosi yang terus diasah ini akan dapat meminimalkan tekanan maupun persoalan pada kondisi psikis kita.

 

Kelola pikiran: optimis yang realistis, tidak sekedar toxic positivitistik

“Ayolah berpikir positif”

“Ayolah Optimis”

“Ayo pasti ada jalan deh nanti”

Kalimat-kalimat seperti itu sering ya kita dengar saat ini. Di satu sisi kita mampu ‘menerima’ nya karena budaya kita yang kental dengan membangun harapan dan keyakinan pada Sang Pencipta maupun semesta. Tentu ini baik, tidak salah. Namun, seringkali karena tidak ada langkah konkret yang menyertai, ketegangan pikiran justru mudah menguat.  

Pikiran penyemangat seperti di atas sering kali muncul ketika menemui suatu tantangan atau kesulitan yang sepertinya tidak mungkin terselesaikan, tidak ada jalan, atau tidak tahu caranya. Pada kondisi pikiran suntuk atau ‘mentok’ wajar bila lalu mengalami pesimisme. Terlebih, ketika pada faktanya, kesulitan datang bertubi-tubi dan seakan sulit sekali menemukan penyelesaian. Menghadapi situasi tersebut, biasanya orang di sekitar akan merespon dengan kata-kata penyemangat. Seakan-akan kita yang menjalani sudah tidak bersemangat lagi. Padahal, bisa saja bukan karena tidak adanya semangat, namun sering kali lebih karena belum menemukan langkah yang tepat dilakukan. Atau karena sedang lelah. Merasakan lelah pun juga wajar dalam situasi demikian.

Kata-kata penyemangat seperti di atas biasanya hadir dengan harapan menjadi daya dorong untuk mental kita agar tetap kuat berusaha. Namun, tanpa adanya lanjutan sikap konkret maka realita perbaikan tidak akan nyata diperoleh bukan? Oleh karena itu, mari tidak sekadar menyemangati diri dengan kata-kata namun lanjutkan dengan mengaktifkan pikiran yakni merancang langkah yang lebih konkret. Kata-kata penyemangat perlu diikuti dengan langkah berpikir tentang bagaimana upaya perbaikan yang feasible kita lakukan. Jangan biarkan kata-kata penyemangat itu menjadi ‘racun’ langkah nyata karena justru membuat kita tidak bertindak apapun.

Langkah konkret yang dapat kita lakukan setidaknya dengan mengupayakan berpikir tentang apa yang kan dilakukan. Coba periksa ke dalam diri sendiri. Gunakan akses dan sumber daya yang kamu miliki untuk memeroleh pandangan lain. Bila seakan sulit sekali berpikir, maka cobalah membuka telinga dan belajar dari orang lain. Bisa saja orang lain memiliki pemikiran yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam benak kita namun sangat konkrit dijalani. Mau mendengarkan dan mencoba dari perspektif lain menjadi salah satu sikap konstruktif. Namun, tentu pastikan ya, sumber informasi dan pandanganmu adalah sesuatu yang objektif dan kontekstual. Jadi kunci bertindak nyata adalah terbuka untuk mendapatkan informasi baru dari sumber terpercaya lalu mau memproses dan mencoba menindakinya.

 

Kelola lingkungan kita, baik fisik maupun mental

Kondisi lingkungan sekitar akan turut berpengaruh terhadap status kesehatan kita, baik secara fisik mupun mental. Dalam konteks menjaga kewarasan mental, tentu kita perlu mengupayakan dan mengelola lingkungan supaya menjadi daya dukung yang konstruktif. Kita dapat memulai dengan mengatur agar lingkungan fisik sekitar menjadi nyaman, dalam standar kita tentunya. Lagi-lagi, kita tidak perlu berpatokan pada kebutuhan ataupun standar orang lain ya.  

Langkah selanjutnya, kamu dapat mulai memperkuat lingkungan psikologismu, circle-mu. Pilah dan pilih orang-orang yang terkoneksi denganmu, meskipun hanya secara virtual. Tingkatkan intensitas interaksi dengan orang-orang yang membawa hal positif. Orang-orang dalam kategori ini misalnya mereka yang membuat kita bisa menjadi diri kita apa adanya, dapat membuat kita memiliki pikiran terbuka, orang-orang yang tidak sibuk dengan menuntut diri kita, juga orang-orang yang bersamanya kita bisa tertawa lepas dan melakukan kekonyolan tanpa penghakiman.

Membangun lingkungan mental yang sehat selanjutnya adalah mengelola akses informasi ataupun mediamu. Apabila kamu memiliki kontrol internal yang kuat maka hal ini bisa dilakukan dalam bentuk membuat batasan informasi atau paparan seperti apa yang akan kamu hindari dari media sosialmu. Namun bila kontrol dirimu masih mudah goyah, disarankan untuk meminimalkan akses ke informasi atau paparan media yang memiliki nuansa negatif.

Sampai saat ini, berakhirnya pandemi ini masih belum dapat terprediksi. Namun demikian, bukan berarti kita tidak akan dapat memiliki kualitas hidup yang baik bukan? Memulai dari diri sendiri adalah langkah penting dan utama untuk dilakukan. Kelola emosi dan pikiran sebagai langkah awal dan kuatkan juga dengan hidup pada lingkungan fisik dan psikologis yang lebih sehat. Mari kita mulai langkah pertama dari diri kita sendiri karena #sehatkudimulaidariaku


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: