Oleh: Lucia Peppy Novianti, S. Psi., M.Psi., Psikolog
Halo teman Wiloka, pernahkah memiliki pengalaman demikian, misalnya kepada adik berusia remaja? Atau mungkin mendapatkan keluh kesah dari orang tua, Pakdhe, atau teman? Pada artikel kali ini, akan dibahas bagaimana kondisi psikologis pada remaja yang sering diikuti berbagai konflik dan kesulitan berkomunikasi dengan keluarga terutama orang yang lebih tua dari dirinya.
Mengenal Kondisi Remaja
Remaja adalah fase kehidupan yang cukup unik dalam perkembangan manusia. Keunikan ini bersumber karena remaja sedang berada pada masa peralihan baik pada kemampuan berpikir maupun fisik tubuhnya (pertumbuhan organ seksualnya yang juga sangat dipengaruhi oleh hormon). Nah, perkembangan dan pertumbuhan yang cepat ini mudah menimbulkan ketidaknyamanan, baik pada suasana hati, kondisi tubuh (karena berbagai hormon) maupun perubahan kemampuan berpikirnya. Kondisi ini dapat ‘diperparah’ ketika remaja merasa tidak dipahami oleh orang terdekatnya maupun mendapatkan kedekatan dengan sosok yang memiliki pengaruh buruk dalam tingkah laku. Disadari atau tidak, orang tua atau keluarga sering kali masih memperlakukan si remaja seperti  anak-anak, misalnya sikap terlalu mengatur, memerintah, tidak memberi ruang untuk berpendapat, maupun membatasi ruang untuk menyatakan diri. Padahal, si remaja telah mulai memiliki akses informasi dan interaksi yang lebih luas sehingga akan mudah memunculkan perilaku mencari kenyamanan dan dukungan dari luar keluarga. Ini lah yang menjadi sumber pencarian remaja di luar keluarga, yang tak jarang juga dapat justru menjerumuskan si remaja, seperti pergaulan tidak sehat maupun dimilikinya karakter-karakter negatif dalam dirinya. Bila saat ini di dalam keluargamu memiliki anak remaja yang cenderung berperangai negatif, coba diperiksa kembali, apakah keluarga terutama orang tua telah memberikan porsi dan perlakuan yang sesuai dengan kondisi si remaja? Atau jangan-jangan masih memerlakukannya seperti anak-anak? 
Tentang Generation Gap
Dalam kajian psikologi, dikenal istilah Generation gap dalam masa remaja. Generation Gap adalah suatu situasi ketidaknyamanan yang terjadi antara remaja dengan orang yang lebih tua di keluarga karena seakan memiliki ‘jarak’, tidak ada kedekatan secara emosi dan sosial, dan cenderung berkonflik ketika berinteraksi. Umumnya generation gap ini terjadi antara orang tua dengan anak yang berusia remaja, namun dapat pula terjadi antara kakak terhadap si adik remajanya. Memahami tentang situasi generation gap ini cukup penting karena kondisi ini berpotensi membuka pintu gerbang besar terhadap masuknya pengaruh buruk kepada remaja termasuk dalam hal pembentukan kepribadian anak remaja selanjutnya. 
Generation Gap ini terjadi karena asumsi yang salah antara masing-masing pihak. Di satu sisi, pihak orang tua (atau orang yang lebih tua usianya dari si anak remaja) memandang bahwa si anak belum mampu memutuskan, pemikirannya lebih banyak yang kurang tepat, dan melihat adanya potensi terjerumus pada hal yang negatif sehingga buru-buru melarang, mengatur, dan bahkan membatasi ruang gerak anak. Sedangkan di sisi lain, si remaja merasa dia sudah lebih dewasa dari sebelumnya, telah mampu mandiri, memiliki kemampuan untuk menyelesaikan segala sesuatu sendiri, termasuk  telah memiliki kemampuan menganalisis suatu hal secara baik (terutama yang memiliki kecerdasan baik atau telah terbiasa memiliki wawasan luas) sehingga mengharapkan sudah dapat bertindak sendiri berdasarkan kemauannya. Terlihat bukan bagaimana perbedaan yang sangat jelas tentang pandangan kedua sisi ini? Kondis inilah yang kemudian membuat adanya jarak antara si orang tua dengan remaja. Celakanya, ketika remaja merasa berjarak dengan orang tua atau keluarganya, ia pun mudah langsung berpindah pada orang di luar keluarga, terutama teman sebayanya. Seorang remaja mudah melihat teman-temannya sebagai pihak yang terlihat lebih mengerti dirinya dan mampu menjembataninya untuk mewujudkan sosok yang ia ingin wujudkan. Maka, si remaja pun jadi lebih memilih teman-temannya, merasa nyaman di luar rumah, dan menjadi semakin mudah tercipta jarak dengan keluarga. 
Bagaimana membangun komunikasi dengan remaja?
Nah, lalu pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana nih menghadapi anak remaja di keluarga? Baik oleh orang tua maupun para kakaknya?
1. Pertama adalah perlunya ‘membungkus’ sikap sebagai teman bagi si remaja. Ini tidak berarti bahwa orang tua atau kakak mengurangi fungsi kontrol atau bimbingan kepada si remaja. Membungkus sikap ini berarti bagaimana orang tua dan kakak akan mampu hadir sebagai teman bagi si remaja:  yakni memahami dan memberikan dukungan. TUjuan atau pesan untuk mengarahkan dan mengontrol tetap akan dapat dilakukan namun dengan bahasa dan cara seperti seorang teman sehingga akan meminimalkan penolakan.Ini dapat dilakukan hanya bila orang tua dan kakak telah mampu hadir sebagai sosok sahabat yang memahami si remaja.
2. Lebih memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengungkapkan keinginanya dan perasaannya. Sebetulnya, remaja itu butuh didengar, butuh ada pengakuan bahwa ia memiliki keinginan dan pemikiran yang menurutnya sudah ‘matang’. Nah, rasa dipahami oleh keluarga terutama orang tuanya akan membuatnya tetap ingin dekat kepada keluarganya.
3. Memberi ruang kepada remaja untuk ambil bagian dan bertanggung jawab. Remaja sering kali ingin dianggap sebagai sosok yang sudah dewasa sehingga mudah sensitif atau marah ketika masih diperlakukan seperti anak-anak. Memberikan kesempatan bagi remaja untuk menunjukkan pemikiran dan mengambil kesempatan akan membuat anak merasa dipercaya dan diakui keberadaannya (sisi eksistensi diri dihargai). Tetap saja kok Ayah Ibu dan kakak dapat memberikan umpan balik atau mengkontrol si remaja bila pemikiran atau keputusannya memiliki risiko berbahaya, dengan catatan penggunaan bahasa yang nyaman dan penuh pemahaman.
4. Teknik ‘pengungkapan diri’ juga akan mampu menjadi jembatan bagi Ayah Ibu dan kakak dalam membangun kedekatan maupun kepercayaan remaja kepada keluarga. Sesekali bercerita tentang keluhan atau pengalaman hari itu kepada si remaja dan meminta pendapatnya akan membuat remaja merasa dianggap berperan dalam kehidupan keluarga tersebut. Ini pun akan memberikan contoh  bagi remaja tentang bagaimana bersikap terbuka kepada anggota keluarga. Ketika ada pengalaman bersikap terbuka kepada keluarga dan diikuti dengan kenyamanan dan penerimaan, si remaja akan mampu memiliki pandangan bahwa keterbukaan akan dapat bermanfaat bagi kehidupan seseorang. Ini akan dapat pula menjadi upaya agar keluarga tetap mampu mengetahui kehidupan si remaja di luar keluarga tanpa berprasangka.
Penolakan maupun sikap pemberontakan remaja perlu disikapi dengan upaya untuk memamahi dan menghadirkan dukungan kepadanya. Dengan demikian, anak pun akan mampu merasakan bahwa keluarga tetap merupakan  tempat yang tetap aman dan nyaman baginya. Semoga bermanfaat….

0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: