Oleh: Agnes Angelina Paramita

Teman Wiloka pernah ga sih, memiliki keinginan berlebih untuk menyenangkan orang lain? Setiap ada yang minta tolong, selalu kita iya-in. Kita sulit untuk berkata ‘tidak’ dan cemas terhadap pendapat yang akan orang berikan jika kita menolak untuk membantu mereka. Kita juga merasa sangat perlu menjadi seseorang yang fast respond terhadap teman kita di media sosial.

Apa itu people pleaser?

People pleaser merupakan seseorang yang mendambakan perhatian, penerimaan, dan persetujuan yang bersifat eksternal/dari orang lain (Clancy, 2018). People pleaser hampir selalu menempatkan kebutuhan orang lain di atas kebutuhan mereka (Leonard, 2020). Mereka juga berusaha sebisa mungkin menghindari perbedaan pendapat dan konflik dengan orang lain. Menurut Cherry (2021), beberapa ciri seorang people pleaser meliputi sulit mengatakan ‘tidak’ saat orang lain meminta bantuan agar tidak mengecewakan orang tersebut, merasa bersalah saat berkata ‘tidak’, berusaha menyetujui pendapat orang lain dan takut mengemukakan pendapat pribadi yang berbeda, serta terlalu sering merasa bersalah dan meminta maaf bahkan untuk hal yang bukan merupakan kesalahan kita.

Asal mula kemunculan sifat people pleaser

Secara umum, terdapat dua (2) hal yang mampu menjelaskan alasan kita bisa menjadi seorang people pleaser. Menurut Martin (n.d.), alasan pertama merupakan kebutuhan untuk bertahan hidup yang secara alami dimiliki manusia sejak zaman prasejarah. Untuk bertahan hidup dari ancaman, manusia prasejarah harus hidup secara berkelompok serta memperoleh penerimaan, dukungan, dan perlindungan dari anggota kelompok (Martin, n.d.). Untuk itu, manusia berusaha melakukan tindakan yang menyenangkan dan bermanfaat bagi orang lain untuk bergabung dalam kelompok. Yang kedua, pola asuh yang diterapkan orang tua. Seltzer (2008) dan Leonard (2020) mengungkapkan bahwa pola asuh yang terlalu mengontrol perilaku anak berkontribusi terhadap sifat people pleaser yang dimiliki anak kelak. Anak yang terlalu dikontrol akan secara kaku mengenali hal-hal yang orang tua mereka anggap pantas untuk dilakukan dan yang tidak. Anak kemudian berusaha melakukan tindakan yang dianggap pantas demi menghindari respon negatif dari orang tua, seperti teguran.

Sisi buruk menjadi people pleaser

Menjadi seorang people pleaser mampu membuat kita kelelahan dan frustrasi karena selalu berusaha keras untuk menjadi sempurna di mata orang lain (Seltzer, 2008). Karena harga diri kita terikat oleh penerimaan dan dukungan orang lain, respon negatif orang lain–meskipun sedikit– mudah membuat kita merasa sedih, tidak pantas, dan rendah diri. Karena kita terlalu menaruh kebutuhan orang lain di atas kebutuhan diri, kita kehilangan kesempatan untuk melakukan refleksi terkait sejauh mana tindakan yang kita lakukan bermanfaat bagi diri kita. Dengan kata lain, kita tidak terbiasa mengambil makna dari tindakan yang kita lakukan. Seltzer (2008) menggambarkan seorang people pleaser sebagai bunglon, yakni seseorang yang kurang memiliki pendirian. Karena kurang memiliki pendirian, kita sulit untuk membuat keputusan secara mandiri.

Strategi untuk keluar dari sifat people pleaser

Strategi untuk berusaha keluar dari jebakan sifat people pleaser dapat dirangkum ke dalam tiga (3) hal, yaitu berani kecewa, berkata “tidak”, dan membuat batasan dengan orang lain. Clancy (2018) mengungkapkan beberapa cara dalam mengatasi sifat people pleaser:

  • Kita perlu bertanya dan melakukan refleksi diri, “Mengapa kita terus-terusan ingin menyenangkan orang lain? Adakah hal lain yang lebih penting dan bermanfaat bagi diri kita yang selama ini belum dapat kita lakukan?”
  • Karena cemas terhadap respon orang lain, biasanya kita mengurungkan niat untuk berkata ‘tidak’ saat diminta tolong membantu orang lain. Cobalah untuk sesekali berkata “tidak” kepada orang lain dan amati respon mereka. Seringkali, respon nyata orang lain tidak semenyeramkan apa yang kita bayangkan dan cemaskan selama ini.
  • Sadarilah bahwa merasakan setiap emosi–baik emosi positif maupun negatif–penting bagi pertumbuhan pribadi, termasuk emosi kecewa. Setiap orang memiliki pengalaman hidup saat mengecewakan dan dikecewakan, tidak ada yang salah dari perasaan tersebut.

Saracino (2015) menambahkan bahwa membuat batasan diri terhadap aktivitas yang melibatkan orang lain–seperti mengurangi penggunaan media sosial–tidak berarti bahwa kita mengabaikan orang lain. Bertanggung jawablah membalas pesan orang lain ketika kita memang dalam keadaan online. Namun, bukan merupakan kewajiban kita untuk terus-menerus fast respond dan tersedia bagi orang lain.

 

Belajar untuk berkata ‘tidak’ dan membuat batasan yuk, teman Wiloka! Menolong orang lain merupakan sebuah kewajiban. Namun, jangan terus-menerus menolong atas dasar penerimaan orang lain ya! Keberhargaan diri kita bukan didasarkan oleh pendapat dan penerimaan orang lain, melainkan oleh penerimaan diri terhadap kondisi yang kita miliki. Mari sayangi diri kita!

 

Referensi:

Cherry, K. (2021, September 3). How to Stop Being a People-Pleaser. Verywell Mind. https://www.verywellmind.com/how-to-stop-being-a-people-pleaser-5184412

Clancy, A. (2018). How to stop being a people-pleaser. Accountancy Ireland, 67.

Leonard, E. (2020, November 23). The Underpinnings of People-Pleasing. Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/us/blog/peaceful-parenting/202011/the-underpinnings-people-pleasing

Martin, S. (n.d.). The Need to Please: The Psychology of People-Pleasing. Sharon Martin. https://www.livewellwithsharonmartin.com/psychology-of-people-pleasing/

Saracino, M. (2015). Christian Anthropology: An Introduction to the Human Person. Paulist Press.

Seltzer, L. F. (2008, Juli 22). From Parent-Pleasing to People-Pleasing (Part 1 of 3). Psychology Today. https://www.psychologytoday.com/intl/blog/evolution-the-self/200807/parent-pleasing-people-pleasing-part-1-3

*Penulis merupakan mahasiswa magang Wiloka Workshop


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: