oleh: Baskara Hasta Manggala
Alexithymia: Konsep dan Pengertian
Alexithymia dikenalkan oleh Peter E. Sifneos, seorang psikiater dan profesor di Harvard Medical School pada tahun 1976. Alexithymia adalah berasal dari bahasa Yunani, yakni a yang berarti tidak, lexis yang berarti kata, dan thymos yang berarti emosi (Estugra, 2019). Secara keseluruhan, istilah tersebut mengandung makna “tidak mengenal kata emosi” atau lebih tepatnya kesulitan dalam mengenali emosi. Meskipun, alexithymia bukan hanya sekadar kesulitan mengenali perasaan, tetapi juga kesulitan dalam mengekspresikan dan memberitahukannya secara verbal kepada orang lain. Kondisi yang terdengar sangat familiar bukan?
Eits, meskipun terkadang seseorang merasa kesulitan menggambarkan perasaannya, bukan berarti alexithymia lantas terjadi pada semua orang. Menurut Cherney (2021), orang yang memiliki alexithymia mungkin menggambarkan diri mereka sebagai mengalami kesulitan dalam mengekspresikan emosi yang dianggap pantas secara sosial (seperti kebahagiaan pada kesempatan yang menggembirakan, atau kesedihan disaat peristiwa memilukan) sehingga tidak menutup kemungkinan orang lain mungkin juga mengalami kesulitan mengidentifikasi emosi mereka. Meskipun tidak dapat mengekspresikan emosi dengan baik, orang-orang yang memiliki alexithymia tidak selalu memiliki sikap apatis—tetapi lebih ke tidak adanya emosi kuat dan kesulitan untuk berempati.
Kajian Kramadangsa pada Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram
Izad (2018) mengenali Kawruh Jiwa sebagai konsep pengenalan diri yang merupakan hasil kontemplasi Ki Ageng Suryomentaram selama puluhan tahun. Prosesnya dikenal dengan pangawikan diri atau kawruh jiwa atau bisa juga disebut sebagai filosofi rasa. Ajaran Widyarini (2015) merangkum isi konsep Kawruh Jiwa Jilid 1-4 dengan rincian:
- kawruh begja sawetah yang berisi uraian pokok kawruh jiwa;
- kawruh begja princen-princen yang berisi berpuluh‐puluh uraian lain yang merinci uraian pokok; dan
- konsep kepribadian kramadangsa.
Ki Ageng Suryomentaram sendiri merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Dirinya menguak proses dan dimensi pada konsep kepribadian seseorang melalui apa yang ia sebut sebagai kramadangsa. Kramadangsa sendiri dijabarkan dalam empat dimensi, yakni fungsi fisik, emosional, intelektual, dan intuisi (Widyarini, 2015). Tidak semua orang mampu mencapai dimensi empat yang merupakan pilihan seseorang untuk mengesampingkan sifat egoistik untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain serta mengetahui kekurangan diri untuk mencapai tingkatan yang disebut sebagai “manusia tanpa ciri” atau “manungso tanpo tenger”.
Selain konsep kramadangsa, dikenal pula istilah ngudari reribet atau dapat diartikan sebagai “menguraikan yang rumit”. Ngudari reribet difasilitasi melalui proses kandha-takon (menyampaikan dan bertanya) dalam junggringan sebagai sarana melatih raosipun piyambak (rasa dalam diri) dalam nyawang karep (melihat keinginan dan ambisi) agar selalu peka dan sadar terhadap rasanya sendiri (Kholik & Himam, 2015). Junggringan atau dalam Kurniawati, Soeharto, dan Sriningsih (2016) disebut sebagai junggringan ngudoroso merupakan sebuah aktivitas kelompok yang mempertemukan orang-orang di dalam suatu diskusi untuk membahas topik tertentu.
Kawruh Jiwa sebagai Bantuan Menghadapi Alexithymia
Meskipun alexithymia sudah dikenalkan sejak 1976, informasi tentang penyebab yang mendasari dan terapi yang direkomendasikan masih sangat kurang memadai (Lo, 2021). Cherney (2021) juga sejalan dengan pernyataan tersebut, meskipun ada kemungkinan alexithymia disebabkan faktor genetik. Ancaman utama bagi penyandang alexithymia adalah sulitnya penerimaan sosial oleh orang-orang di sekitarnya akibat sulitnya mengungkapkan emosi yang “umumnya” dilakukan orang lain dalam situasi tertentu. Sebagai contoh, ketika kita tidak memperlihatkan kesedihan waktu pemakaman akan menyebabkan banyak persepsi negatif. Berlaku pula pada saat kita tidak mengekspresikan rasa bahagia ketika seorang teman meraih keberhasilan, bagi orang yang tidak mengetahui kondisi sesungguhnya akan melontarkan emosi negatif kepada penyandang alexithymia.
Menghadapi hal tersebut, kita dapat memanifestasikan konsep kramadangsa dalam memandang diri kita melalui tiga dimensi awal dalam sebuah catatan pribadi atau diary. Hasil catatan tersebut dapat dipresentasikan melalui proses kandha-takon dalam sebuah pertemuan berbasis self-help group untuk mendapatkan feedback mengenai apa yang kita lihat, rasakan, dan pikirkan. Melalui proses tersebut diharapkan seseorang dapat memahami mengenai etika-etika dalam respons emosi. Hal ini juga disampaikan dalam Kurniawati, Soeharto, dan Sriningsih (2016) mengenai tiga unsur junggringan ngudoroso, yakni: “meneliti pethukan (tanggapan) rasa”, “membangun kesadaran”, dan “mengambil tindakan”. Meskipun alexithymia dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk dapat mengekspresikan emosinya, fungsi intelektual masih tetap ada dan dapat melakukan rekayasa dan imitasi perilaku. Rekayasa dan imitasi perilaku ini dilakukan untuk mendapatkan penerimaan sosial dari orang di sekitar, tentu dalam batas sewajarnya—menurut etika-etika yang berlaku.
Referensi
Cherney, K. (2021). All About Alexithymia, or Difficulty Recognizing Feelings. Healthline. Diakses pada 27 September 2022, melalui https://www.healthline.com/health/autism/alexithymia.
Estugra, T.N. (2019). Pengaruh Alexithymia, Hope, Meaning, dan Social Support terhadap Child Neglect pada Orang Tua dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). (Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2009). Diakses melalui https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48913/1/TIRTA%20NINGARUM%20ESTUGRA-FPSI.pdf.
Izad, R. (2018). Ilmu Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Qureta. Diakses pada 27 September 2022, melalui https://www.qureta.com/post/ilmu-kawruh-jiwa-ki-ageng-suryomentaram#:~:text=Kawruh%20Jiwa%20adalah%20konsep%20pengenalan,hanya%20dialami%20oleh%20dirinya%20sendiri.
Kholik, A., & Himam, F. (2015). Konsep Psikoterapi Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Gadjah Mada Journal of Psychology, 1(2), pp. 120-134.
Kurniawati, F.M., Soeharto, T.N.E.D., & Sriningsih. (2016). Aktivitas Junggringan Ngudoroso Ki Ageng Suryomentaram untuk Peningkatan Kualitas Hidup Lansia. Prosiding Seminar Nasional Psikologi Indigenous Indonesia 2016 “Kebhinekaan dan Masa Depan Indonesia: Peran Ilmu Sosial dalam Masyarakat”.Universitas Negeri Malang: 27 Agustus 2016. pp. 668-675.
Lo, I. (2021). Alexithymia: Do You Know What You Feel?. Psychology Today. Diakses pada 27 September 2022, melalui https://www.psychologytoday.com/us/blog/living-emotional-intensity/202102/alexithymia-do-you-know-what-you-feel.
Widyarini, N. (2015). Kawruh Jiwa Suryomentaram: Konsep Emik atau Etik?. Buletin Psikologi, 16(1), pp. 46-57. http://doi.org/10.22146/bpsi.7496.
*Penulis merupakan mahasiswa magang Wiloka Workshop
0 Comments