Oleh: Hadara Naristya Elvita

Pernikahan seharusnya menjadi langkah besar perjalanan menuju kehidupan yang bahagia bagi banyak pasangan. Namun, tidak sedikit dari mereka yang justru mengalami kekerasan setelah memasuki pernikahan tersebut. Kekerasan dalam rumah tangga atau yang lebih dikenal KDRT, dapat menjadi permasalahan yang besar bagi sebuah keluarga. Sayangnya, tak sedikit korban yang memilih untuk diam, pasrah dan memaafkan pelaku KDRT, di masyarakat kita.

Apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)?

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, KDRT didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang (terutama perempuan) yang berakibat pada timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, dan psikologis. Kekerasan dalam rumah tangga juga mencakup ancaman, pemaksaan, dan perampasan yang terjadi dalam lingkup keluarga.

Terdapat beberapa jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan pengabaian. Kekerasan fisik merupakan tindakan yang dapat menyebabkan rasa sakit ataupun cedera pada kondis fisik. Sedangkan, kekerasan psikis merujuk pada dampak terhadap kondisi mental. Bentuk kekerasan lain dapat berupa kekerasan seksual, yang berarti pemaksaan terhadap aktivitas seksual, maupun pengabaian maupun pembatasan akses.  Jenis kekerasan berikutnya adalah kekerasan seksual, di mana terjadinya hubungan seksual akibat paksaan yang dilakukan di area keluarga untuk mencapai tujuan tertentu. Jenis kekerasan yang terakhir adalah pengabaian, tindakan yang mengarah pada ketergantungan finansial seseorang dengan cara dibatasi atau dilarang melakukan pekerjaan didalam atau diluar rumah, Oleh sebab itu, korban sepenuhnya berada dibawah kendali pelaku KDRT.

Mengapa sering kali penyintas bersikap diam?

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memberikan dampak yang cukup besar bagi kehidupan para penyintas. Beberapa dampak yang sering muncul baik dalam bentuk dialaminya gangguan secara psikis (seperti depresi atau trauma) hingga adanya luka pada tubuh penyintas. Selain itu, KDRT juga dapat memberikan dampak kepada pekerjaan yang dilakukan oleh penyintas seperti kinerja dalam pekerjaan menjadi berkurang dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk mencari bantuan kepada psikolog ataupun psikiater. Walaupun berbagai dampak dirasakan, namun sering kali penyintas bersikap tetap diam. mengapa ya? Merujuk pada tulisan Muhammad (2021), Heriyani Wiwie (2022) dan Jala Storia (2022), berikut merupakan beberapa alasan yang membuat korban KDRT memilih enggan mengungkap atau melaporkan peristiwa yang dialami:

  1. Malu

Tidak sedikit keluarga yang ingin terlihat harmonis di lingkungan sekitar. Rasa malu muncul ketika kenyataannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu, seringkali penyintas merasa bahwa kekerasan yang dialami merupakan aib yang tidak perlu diketahui oleh orang lain bahkan keluarganya sendiri. Oleh sebab itu, para penyintas lebih memilih untuk diam dan bertahan dengan kondisi yang ada demi menjaga nama baik keluarga.


  1. Merasa belum terlalu parah

Ketika berbicara mengenai kekerasan, orang mungkin berpikir bahwa penyintas harus mengalami pukulan dahulu. Kenyataannya, tidak begitu konsepnya. Kekerasan verbal dan intimidasi juga termasuk KDRT. Beberapa orang sering membandingkan penderitaan para penyintas, bahwa apa yang dialami para penyintas tersebut belum ada apa-apanya.. Seringkali mereka berbicara dengan kalimat “bahkan kondisi mereka lebih baik”. Kondisi ini menyebakan rasa dikecilkan sehingga membuat penyintas merasa tidak berhak untuk mengeluh apalagi melapor.


  1. Berharap pelaku berubah

Salah satu alasan yang paling banyak muncul pada penyintas KDRT memilih tidak melaporkannya adalah karena masih mencintai pelaku. Selain itu, masih banyak penyintas yang berharap suatu saat pelaku akan berubah. Pengharapan tersebut terlihat menimbulkan keengganan penyintas KDRT lepas dari ikatan terhadap pelaku. Selain itu, penyintas kekerasan dalam rumah tangga cenderung enggan bercerai, bahkan ketika tidak lagi merasakan cinta. beberapa alasannya antara lain karena malu, kebutuhan ekonomi, dan mendapat tekanan dari keluarga besar.


  1. Mendapat ancaman dari pelaku

Meski belum membawa kasus ke polisi, beberapa penyintas kekerasan dalam rumah tangga telah melarikan diri dan membawa anak-anaknya ke tempat yang lebih aman. Bila ini terjadi, biasanya pelaku langsung atau tidak langsung meneror penyintas dan penyintas menjadi gelisah dan menyerah. Ancaman yang diberikan pelaku membuat penyintas tidak berani melepaskan atau menyudahi hubungan dengan pelaku karena bisa membahayakan diri dan keluarga penyintas.


  1. Bergantung secara finansial

Situasi ini biasanya terjadi kepada istri yang belum mandiri secara ekonomi. Jika pasangannya diadili dan dimasukkan ke dalam penjara, maka muncul kekhawatiran tentang  nasib keluarga dan terutama kelangsungan hidup anak-anaknya.

 

Dukungan yang dapat dilakukan oleh keluarga dan orang terdekat

Penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tentunya membutuhkan dukungan dari lingkungan terdekatnya, misalnya keluarga ataupun orang-orang terdekat yang dimilikinya. Dukungan yang ada akan membantu penyintas untuk dapat bangkit lagi dari berbagai emosi negatif atas pengalaman kekerasan. Namun, seringkali orang-orang terdekat ataupun keluarga masih kesulitan dalam menemukan cara untuk mendukung para penyintas. Orang-orang terdekat terkadang merasa takut untuk memberikan dukungan dengan bentuk yang salah. Atau di sisi lain, ternyata dukungan atau respon yang diberikan ternyata malah kurang tepat sehingga menimbulkan persoalan lebih lanjut.

 

Ada banyak bentuk dukungan yang dapat dihadirkan bagi penyintas kekerasan. Namun, setidaknya ada dua bentuk dukungan yang perlu kita upayakan terlebih dahulu ketika ada orang mengalami kekerasan di sekitar kita. Bentuk dukungan pertama yang dapat dilakukan oleh orang terdekat adalah dengan menghadirkan sikap menerima dan memberikan rasa aman dan nyaman tanpa syarat kepada penyintas. Menghadirkan hal tersebut akan memberikan kehangatan dan menimbulkan rasa aman kepada penyintas KDRT. Dukungan berikutnya yang dapat dengan menunjukkan dukungan emosi dalam bentuk sikap empati dengan memperhatikan kebutuhan penyintas. Salah satu caranya adalah dengan berupaya memahami apa yang menjadi kebutuhannya saat itu. Kedua sikap tersebut akan membuat seseorang merasa didukung dan dicintai oleh lingkungan terdekat penyintas. Kembali merasa didukung dan dicintai akan menghadirkan rasa nyaman yang selanjutnya dapat mewujudkan kekuatan maupun kemampuan diri untuk berupaya melanjutkan hidup.

 

Mari teman-teman Wiloka, ketika menjumpai orang di sekitar kita ternyata memiliki pengalaman kekerasan, kita beri dukungan dasar tersebut. Sikap peduli dan mau hadir sebagai sosok aman baginya akan bermanfaat besar untuk para penyintas bertahan dan kembali melanjutkan hidup. Mari kita mulai dari diri sendiri lalu ajak orang di sekitar kita. Karena #sehatkudimulaidariaku.

 

DAFTAR PUSTAKA

Azizah Fahra. (2020). Dukungan Sosial dan Kecerdasan Menghadapi Kesulitan Terhadap Kepuasan Perkawinan Pada Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Ilmiah Psikologi. Vol. 8, No. 3(472-481). doi: 10.30872/psikoborneo

Febriana Amalia. (2014). Implementasi Perlindungan Saksi dan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Jurnal Ilmu Hukum Legal Option. 2(3), 1-8.

Heriyani Wiwie. (2022). 5 Penyebab Korban KDRT Enggan Melapor atau Cabut Laporan, Salah Satunya masih Berharap Pelaku Bisa Berubah. Diakses pada 30 Oktober 2022, dari https://www.celebrities.id/read/5-penyebab-korban-kdrt-enggan-melapor-atau-cabut-laporan-salah-satunya-masih-berharap-pelaku-bisa-berubah-0z5rY0?page=2

Jala Storia. (2022). Ketika Korban KDRT Tidak Mau Melaporkan Pelaku. Diakses pada 31 Oktober 2022, dari https://www.jalastoria.id/ketika-korban-kdrt-tidak-mau-melaporkan-pelaku/

Muhammad. (2021). 6 Alasan Korban KDRT Memilih Diam & Memaafkan Pelaku. Diakses pada 31 November 2022, dari https://www.gooddoctor.co.id/hidup-sehat/mental/6-alasan-korban-kdrt-memilih-diam-memaafkan-pelaku/

Maharani Ayu. (2022). Alasan Korban KDRT Enggan Melaporkan Kasusnya. Diakses pada 1 November 2022, dari https://www.klikdokter.com/psikologi/relationship/alasan-korban-kdrt-enggan-melaporkan-kasusnya

*Penulis merupakan mahasiswa magang Wiloka Workshop


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: