Oleh: Faustina Edith Aluwi

Peningkatan pernikahan anak di bawah umur menjadi permasalahan khususnya di Indonesia. Ratusan anak di Blitar mengajukan dispensasi nikah alasan paling banyak muncul adalah terjadinya kehamilan di luar pernikahan (Fibrianto, 2023). Atas alasan tersebut orang tua gencar untuk mendatangi dinas dan mengajukan pernikahan, padahal anaknya masih di bawah umur.  Sebetulnya, permasalahan ini juga menjadi agenda bagi banyak negara. Ironinya, masih banyak ditemukan  kasus pernikahan anak di Indonesia, khususnya di pedesaan.

Pernikahan anak seakan menjadi fenomena umum yang terjadi di Indonesia. Pernikahan anak dapat didefinisikan sebagai pernikahan formal atau informal sebelum usianya 18 tahun (UNICEF, 2011). Tahukah kalian bahwa pernikahan anak merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual? Pada UU TPKS Tahun 2022 pada pasal 10, ayat (2) dinyatakan bahwa pernikahan anak menjadi salah satu bentuk dari pemaksaan perkawinan.

Pernikahan anak dapat berakibat pada pembatasan akses mereka terhadap  kesehatan khususnya kesehatan reproduksi dan hak-hak seksual. Selain itu, pernikahan pada usia anak juga akan membatasi kendali atas tubuh mereka sendiri dan meningkatkan risiko mengalami kekerasan berbasis gender maupun kekerasan pada pasangan (IPV) (Kidman, 2017). Ditambah lagi, pernikahan anak ini juga akan merenggut hak-hak dasar anak, seperti hak mendapatkan pendidikan ataupun bermain. Pernikahan dini juga dapat merenggut masa kecil anak dan keseluruhan hidupnya.

Maraknya pernikahan anak ditandai dengan faktor pendidikan, sosial, dan ekonomi pada anak (Iustitiani & Ajisuksmo, 2018). Mengapa demikian? Seringkali anak mengalami tidak mendapatkan akses terhadap edukasi kesehatan reproduksi maupun anak mengalami putus sekolah. Apabila anak tidak mendapatkan akses mengenai kesehatan reproduksi dapat mengakibatkan anak mengalami kehamilan yang tidak diinginkan.

Faktor pendidikan secara formal maupun kurangnya edukasi mengenai kesehatan reproduksi menjadi faktor yang berperan penting dalam peningkatan pernikahan anak. Ditambah dengan adanya faktor ekonomi yang rendah membuat anak tidak bisa mengenyam pendidikannya mengharuskan si anak tidak mendapatkan akses edukasi dan diharapkan dengan menikah dapat mengubah kondisi ekonomi menjadi lebih baik (Khaerani, 2019).

Bagaimana pandangan masyarakat dapat menimbulkan perasaan malu terhadap anak yang mengalami kehamilan di luar nikah. Kemudian muncul stigma dari lingkungan sekitarnya sehingga keluarga korban tidak menginginkan adanya fitnah terhadap korban sehingga keluarga memaksa korban untuk melangsungkan pernikahan. Peran media sosial pada anak mengakibatkan anak terpapar dengan konten pornografi yang merangsang anak untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan. Pada akhirnya anak yang mengalami kehamilan di luar nikah terpaksa untuk bertanggung jawab dengan melakukan pernikahan di usia yang cukup belia.

Melihat penjelasan di atas, ternyata pernikahan anak lebih banyak membawa dampak negatif dibandingkan kebermanfaatan ya!?

Oleh karena itu, upaya pencegahan perlu dilakukan dalam membantu pemerintah untuk mengurangi dan mencegah pernikahan anak di Indonesia. Permasalahan ini tidak dapat diselesaikan dengan bantuan dari pemerintah saja, tetapi perlu adanya campur tangan dari berbagai belah pihak untuk dapat menuntaskan permasalahan pernikahan anak di Indonesia.

Salah satunya keluarga perlu untuk mengedukasikan mengenai kesehatan reproduksi sedari dini pada anak agar anak mengetahui akibat yang terjadi apabila melakukan hubungan seksual di luar nikah maupun penyakit menular akibat melakukan hubungan seks. Pendidikan dan pemberdayaan pada remaja perlu dilakukan untuk mengurangi pernikahan anak dan mengurangi angka kematian pada ibu maupun bayi. Yuk kita sama-sama membantu pemerintah dalam menurunkan tingkat pernikahan anak di Indonesia !

Referensi: 

UNICEF. (n.d.). Child marriage. https://www.unicef.org/protection/child-marriage

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Indonesia). Diakses tanggal 1 Juli 2023 dari https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/207944/uu-no-12-tahun-2022

Iustitiani, N. S. D., & Ajisuksmo, C. R. P. (2018). Supporting Factors and Consequences of Child Marriage. ANIMA Indonesian Psychological Journal, 33(2), 100–111. https://doi.org/10.24123/aipj.v33i2.1581

Khaerani, S. N. (2019). Faktor Ekonomi Dalam Pernikahan Dini Pada Masyarakat Sasak Lombok. Qawwam, 13(1), 1–13. https://doi.org/10.20414/qawwam.v13i1.1619

Kidman, R. (2017). Child marriage and intimate partner violence: A comparative study of 34 countries. International Journal of Epidemiology, 46(2), 662–675. https://doi.org/10.1093/ije/dyw225

Fibrianto, D. (2023, May 31). 108 Anak Di Bawah Umur Di Blitar Ajukan Pernikahan Dini. BeritaSatu. https://www.beritasatu.com/nusantara/1048194/108-anak-di-bawah-umur-di-blitar-ajukan-pernikahan-dini

FKKMK UGM. (n.d.). Pencegahan Pernikahan Dini Sebagai Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu. https://kanalpengetahuan.fk.ugm.ac.id/pencegahan-pernikahan-dini-sebagai-upaya-menurunkan-angka-kematian-ibu/

*penulis merupakan mahasiswa magang Wiloka Workshop


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: