Oleh: Lucia Peppy Novianti
Ketika kamu terpapar Covid-19 ga ada pilihan lain bagimu adalah untuk berjuang dan bertahan. Bahwa si penyebab adalah virus membuat penyakit ini bukan di-treatment untuk diobati atau dimatikan (semoga ga salah istilah ya) tetapi bagaimana supaya virus menjadi dorman dan tidak aktif lagi. Ah, saya tidak berkompeten untuk menjelaskan tentang virus dan dinamikanya. Jadi kita skip aja deh pembicaraan ini.
Setelah saya bercerita kepada orang-orang terdekat dan kemudian beberapa komunitas tentang kehidupan saya pasca terpapar, salah satu pertanyaan terbanyak adalah bagaimana saya menghadapi kondisi kemarin, baik saat mendapat diagnosis sampai akhirnya menjalani prosedur penanganan dan akhirnya dinyatakan sembuh atau negatif. Di artikel kali ini, saya ingin membagikan, apa dan bagaimana saya dan keluarga saya bisa survive dan melewati ini semua.
Kondisi tubuh kami prima dan bugar. Ini kekuatan besar saya pikir. Baik saya maupun suami tidak terlalu perlu berjuang untuk menghadapi kesakitan secara fisik. Pun aktivitas harian tetap dapat saya jalani seperti rutinitas harian, hanya saja dengan akses terbatas. Karena tubuhku dan suami bugar dan prima, proses penguatan diri untuk mendukung imunitas maupun mengalahkan si virus pun terasa lebih mudah. Kami tetap memeriksa kadar saturasi maupun cek suhu tubuh jangan sampai justru kami abai terhadap kondisi tubuh kami. Tentunya kondisi ini bisa sangat berbeda ya dengan pejuang Covid-19 lainnya. Tubuh kami tetap bugar juga karena kami tidak memiliki penyakit penyerta.
Dukungan nyata. Ya, itu sangat sangat berarti dan berpengaruh bagi kami untuk bisa bertahan dan survive. Ketika suami terkonfirmasi positif, baik atasan suami, tetangga satu komplek rumah dinas maupun kolega dekat memberikan dukungan kepada kami. Pun begitu ketika hasilku keluar dan dinyatakan positif. Pimpinan suami dan istrinya langsung menyiapkan tempat yang nyaman untuk anak-anak beserta dengan makanan untuk 1 bulan ke depan. Para kolega dan junior-junior menyiapkan berbagai kebutuhan lain. Mereka juga setiap hari menanyakan kabar dan ngajak ngobrol. Ya, kehidupan kami selanjutnya sudah ada yang menjamin. Tentu ini adalah berkat dan rejeki bagi kami.
Memiliki circle yang mendukung, sehat, dan menimbulkan rasa aman dan nyaman yang nyata sungguh diperlukan dalam kondisi kami yang harus terpisah dengan kedua anak, berada di rantau, serta tidak memiliki keluarga di kota domisili kami. Pembelajaran lain adalah siapa circle-mu itupun ternyata juga berperan penting untuk menjaga kesehatan mentalmu. Jalinlah komunikasi dan dialog dengan yang memang menghadirkan ketenangan daripada ternyata justru lebih banyak menimbulkan emosi negatif karena komentar atau reaksinya. Pilah dan pilih dalam berinteraksi daring selama masa isolasi mandiri agar pikiran terjaga positif.
Rencana mitigasi isolasi mandiri dan keluarga. Pengalaman terpapar covid ini juga seperti mendapatkan bencana. Walau hanya si pasien (atau keluarga) yang merasakan. Namun ketika tokoh utama dalam keluarga terpapar semua, yaitu si bapak dan si ibu, tentu bencana menjadi semakin serius dirasakan. Terlebih kami hidup di rantau. Awalnya, kupikir akan sangat berat bagi kami, karena baik aku dan suami sama-sama berpikir untuk tidak berkabar dulu terhadap keluarga di Jogja. Kami khawatir bila keluarga panik padahal sebetulnya kondisi fisik kami sangat baik. Namun, menghadapi kenyataan bahwa anak-anak harus dipisahkan dari kami demi kesehatan mereka tentu juga menjadi tantangan tersendiri. Ya, seperti pengalaman bencana pada umumnya, rencana mitigasi menjadi penentu keberlangsungan kehidupan penyintas. Begitu pula dengan keluarga kami kemarin.
Sesaat setelah suami terkonfirmasi yang kupikirkan adalah bagaimana suami akan menjalani isolasi mandiri dan bagaimana rencana kami selanjutnya. Apa yang akan dilakukan setelah kami sekeluarga menjalani swab tracing. Saya dan suami lalu mendiskusikan rencana A,B,C, bahkan sampai H dengan sekenario bermacam-macam. Ternyata membangun rencana kesiapan diri tersebut membuat kami cukup mampu tatag, kuat mental dan siap untuk mengatur dan menjalani kewajiban kami dengan isolasi mandiri.
Apa saja isi rencana mitigasi ketika kedua nahkoda keluarga harus terpisah dari anak-anak? Pertama jelas tentang kebutuhan dasar: tempat tinggal dan bagaimana makan sehari-hari. Ada banyak pertimbangan, apakah kami ke hotel, atau menyewa rumah atau bagaimana. Ya, karena kami tidak bergejala dan di kota kami yang tidak bergejala maka bisa melakukan isolasi mandiri karena keterbatasan tempat. Yang disiapkan kedua adalah siapa yang mendampingi mereka selama tidak ada orangtuanya secara fisik. Kami juga beruntung karena asisten keluarga telah mengikuti kami cukup lama dan cukup dapat dipercaya. Namun demikian tetap saja perlu memastikan kondisi anak. Dalam hal ini, teman-teman dan tetangga juga menjadi faktor pendukung kami. Dan yang terakhir bagaimana memberi pemahaman kepada anak-anak supaya mereka tidak merasa diabaikan bahkan traumatik dengan situasi ini.
Mendapatkan informasi seputar penanganan dari pihak yang berkompeten. Akses informasi yang sangat mudah diperoleh hari ini ternyata bisa menjadi buah simalakama. Terlebih arus dunia maya yang banyak sekali beredar informasi tidak bertanggung jawab. Tentu ada kebutuhanku untuk cari tahu terkait prosedur penanganan, terlebih ketika situasi kemarin penanganan di kota domisili kami cukup chaos karena melonjaknya kasus. Sekali lagi, rejeki bagiku karena aku memiliki teman-teman SMA yang beberapa diantaranya menangani pasien covid-19 bahkan sedang terlibat dalam berbagai risetnya. Informasi-informasi dari mereka tentu dapat dipercaya sehingga menimbulkan ketenangan. Selama masa isolasi mandiri, aku tidak mengakses informasi tentang pengalaman maupun perjuangan para penyintas. Entah apakah akan berbeda situasinya bila aku juga mengakses cerita pengalaman mereka. Yang jelas, mendapatkan penjelasan dan informasi seputar virus ini, bagiamana dinamikanya, bagaimana probabilitasnya, dan bagaimana penanganan yang dianjurkan dari beberapa sudut pandang dari sumber kompeten menimbulkan ketenangan bagiku dalam menjalani isolasi mandiri.
Menjalani kehidupan seperti keseharian. Karena kami tidak bergejala sehingga tidak ada kesulitan secara fisik maka hari-hari kami pun perlu melakukan aktivitas supaya tidak bosan menjalani isolasi mandiri. Baik setelah hasil suami keluar maupun hasilku keluar, rata-rata penyesuaian yang dibutuhkan untuk mendapatkan pola kehidupan baru sekitar dua hari. Setelah itu, saya tetap menjalani aktivitas harian seperti biasa, hanya saja mengurangi durasi dan lebih banyak istirahat. Bahkan di hari ketiga setelah hasilku keluar, saya tetap melayani layanan psikologis online, rapat online maupun menjadi MC pada satu acara daring nasional. Sepertinya aktivitas yang membuat kita happy, tetap dapat bermanfaat dan bermakna juga akan turut berkontirbusi terhadap kualitas mental selama menjalani isolasi.
Dan yang sangat penting adalah kekuatan dan keteguhan anak-anakku ketika mereka harus hidup terpisah dengan saya dan suami. Ini yang paling berat sebetulnya. Berbagai bayangan bahkan pikiran negatif terus muncul. Bahwa anak-anak akan sedih dan bahkan tertekan. Bahwa kondisi ini akan traumatik bagi anak-anak. Bahwa anak-anak akan tidak baik-baik saja. Semua pikiran yang muncul pada awal adalah yang negatif. Namun, ketika anak-anak dikondisikan pada aktivitas sebiasanya mereka, lalu diberikan pemahaman, diajak dialog, dan juga dipastikan kebutuhan dasar mereka terpenuhi aman dan nyaman maka ternyata anak-anak tidak memandang pengalaman tersebut menjadi traumatik. Dan di atas semua itu memang karena anak-anakku ini luar biasa. Mereka begitu kuat dan positif dalam menjalani ini semua. Ini betul-betul menjadi kekuatan dan pendoorngku untuk dapat segera menyelesaikan tugas menjalani isolasi mandiri.
Artikel ini dan sebelumnya merupakan proses refleksiku. Apa yang berhasil dan dapat mendukung perjalananku mengalahkan virus ini bisa saja juga dapat digunakan teman lain namun tepat ada kemungkinan tidak sesuai. Harapanku sederhana: semoga saja dapat memberi dukungan bagi orang-orang yang sedang berjuang terhadap virus Covid-19. Mari disiplin dengan gerakan 3M karena sampai saat ini metode tersebut yang paling efektif menekan paparan virus. Mari peduli, mari saling berkontribusi karena #sehatkudimulaidariaku.
0 Comments