Oleh: Agnes Angelina Paramita
Siapa di sini yang suka minta ke anak kecil buat buruan diam ketika baru nangis atau bete? Keinginan kita untuk segera ‘membungkam’ tangisan atau omelan mereka wajar untuk dirasakan kok hihi. “Gimana engga pengen nyuruh diem? Berisik soalnya. Selain itu, malu diliatin tetangga, dikira ga becus ngasuh anak.”
Namun apakah teman Wiloka tahu bahwa perilaku orang dewasa yang sering meminta anak menutupi emosi negatif yang mereka rasakan ternyata berdampak buruk? Untuk memahami alasannya, yuk kita pahami konsep emotional coaching dan emotional dismissing dalam mengasuh dan mengajarkan anak cara meregulasi emosi mereka!
Emotional coaching vs. Emotional dismissing
Emotional coaching atau pelatihan emosi merupakan strategi regulasi emosi di mana orang tua mengakui keberadaan emosi baik positif maupun negatif (Santrock, 2018). Ketika suatu emosi muncul, orang tua memandu anak mengenali, melabeli (memberi nama), dan memvalidasi emosi yang ia rasakan. Ketika emosi negatif muncul pada anak (seperti marah, sedih, dan kecewa), orang tua memandang hal tersebut kesempatan untuk melatih anak cara merespon emosi negatif dengan lebih efektif. Contohnya, seorang anak yang tidak diajak bermain bola oleh teman sebayanya pergi ke rumah dengan raut muka sebal. Anak tersebut berteriak dan menggerutu. Sebagai orang tua, bagaimana sebaiknya kita merespon? Li (2022), Melksham Resilience Project (n.d.), dan Peverley (2021) memaparkan beberapa langkah:
- Kita perlu mencari tahu terlebih dahulu duduk perkaranya: a) mengapa anak berteriak dan menggerutu?; b) ketika kita sudah tahu bahwa alasan anak menggerutu ada
- lah karena tidak diajak bermain bola, mengapa hal tersebut bisa terjadi? Katakanlah bahwa anak tersebut tidak diajak bermain bola karena ia lupa membawa sepatu bola. Ia hanya diperbolehkan untuk menonton dari pinggir lapangan. Namun karena tidak terima, ia memukul temannya. Akibatnya, anak kita diusir pergi oleh temannya. Bantu anak untuk melihat juga alur pengalamannya sehingga ia bisa memahami apa yang terjadi yang kemudian memunculkan perasaan tersebut.
- Setelah itu, kita dapat membimbing anak untuk mengenali, melabeli, dan memvalidasi emosi yang ia rasakan. Jangan lupa tunjukkan empati kepada anak, seolah-olah kita merasakan hal yang mereka rasakan, “Emosi yang kamu rasakan itu namanya marah. Mama paham kok rasanya. Perasaan marah normal dirasakan ketika kita tidak memperoleh hal yang kita inginkan atau ketika kita mendapat perlakuan buruk dari orang lain.” Karolina (2022) mengemukakan bahwa memvalidasi emosi berarti kita mengakui emosi yang dirasakan dan pengalaman yang menjadi sebab kemunculan emosi tersebut. Dalam kasus ini, anak memvalidasi emosinya dengan mengakui bahwa benar adanya ia merasa marah akibat tidak diperbolehkan bermain bola dan benar adanya ia memukul temannya karena merasa marah. Memvalidasi emosi bukanlah tindakan menyangkal emosi “Nggak kok, aku ga marah, ga sebel,” ataupun membenarkan tindakan “Bener kan aku mukul dia? Habisnya dia nyebelin. Dia duluan kok yang salah soalnya ngusir-ngusir aku!”
- Selanjutnya, orang tua dapat berfokus untuk mengajarkan pada anak cara merespon emosi yang lebih efektif. Dalam aktivitas ini, orang tua juga perlu melibatkan anak dalam berdiskusi dan mendengarkan sudut pandang mereka.
“Wajar kok kamu merasa marah. Tapi menurutmu, kalau dipukul tuh rasanya sakit nggak sih?”… “Semisal kamu jadi yang dipukul, kamu bakal marah ga?”… “Setelah kamu mukul, gimana sih kelanjutan pertengkaran kalian?” Katakanlah bahwa setelah anak kita memukul temannya, teman tersebut ingin memukul balik. Namun, teman lain menengahi dan mengusir anak kita untuk pulang. Kita dapat melanjutkan diskusi dengan mengatakan, “Mungkin nggak sih, temenmu pengen mukul kamu balik dan ngusir kamu karena dia juga marah habis kamu pukul?”… “Andaikan kamu ga disuruh pulang, kalian berdua akan tetap berantem pukul-pukulan. Berarti, tambah parah nggak sih pertengkarannya? Nanti badannya sakit semua.”… “Semisal suatu saat kamu ga diajak main lagi atau ga suka sama perlakuan temenmu dan kamu marah, ada ga tindakan lain yang menurutmu lebih tepat dilakukan ketika kamu marah?”
Sementara itu, emotion dismissing atau penghilangan emosi merupakan strategi regulasi emosi di mana orang tua memandang emosi positif adalah baik dan emosi negatif adalah buruk. Oleh karena itu, orang tua berusaha menghilangkan emosi negatif yang muncul pada anak. Ketika anak mengalami emosi negatif, orang tua akan membantu anak mengabaikan, melupakan, atau menyangkal emosi yang dirasakan serta segera menggantikan emosi tersebut dengan emosi yang lebih positif (Santrock, 2018). Mari kita ambil contoh kasus yang sama (anak berteriak kesal dan menggerutu saat pulang ke rumah karena tidak diajak bermain bola). Menurut Li (2020), Melksham Resilience Project (n.d.), dan Peverley, 2021, respon emotional dismissing dapat ditunjukkan orang tua dalam bentuk ujaran:
- Menyepelekan emosi dan permasalahan anak, “Masa ga diajak main gitu aja sampai mukul? Yuk tenang, itu bukan masalah besar”… “Ga ada gunanya kamu marah. Apakah dengan kamu marah dan merasa ga terima, lalu temenmu ngebolehin kamu ikutan main?”… “Itu kamu tadi aslinya cuma baru capek aja makanya jadi baper/sensitif. Aslinya kamu ga sampai marah”
- Meminta anak untuk segera diam karena respon emosi negatif dianggap kurang pantas ditampilkan, “Jangan ngomel sama teriak terus ya. Malu kalau didengar tetangga lho”
- Mendistraksi anak untuk melupakan emosi negatif, “Habis ini mama beliin makanan kesukaanmu deh. Tapi janji ya, tenang dulu.”
Strategi manakah yang lebih baik?
Penerapan strategi emotion coaching oleh orang tua membantu anak meregulasi emosinya dengan lebih baik di kemudian hari. Anak yang diasuh menggunakan strategi ini lebih mampu menenangkan diri, menentukan respon perilaku yang tepat ketika mengalami emosi negatif, dan membangun hubungan pertemanan yang sehat. Dengan strategi ini, anak merasa orang tua menghargai pengalaman emosi mereka, entah itu emosi positif ataupun negatif. Sementara itu, anak yang diasuh menggunakan strategi emotion dismissing cenderung sering merasa bersalah atas emosi negatif yang dirinya rasakan. Hal tersebut berkaitan dengan anggapan orang tua bahwa ekspresi emosi negatif adalah buruk dan tidak sepantasnya ditunjukkan. Mereka juga lebih menunjukkan penolakan ketika orang tua memberi nasihat (Baker, dkk., 2011, dalam Santrock, 2018; Gottman & DeClaire, 1997, dalam Santrock, 2018; Li, 2022; Lunkenheimer, dll., 2007, dalam Santrock, 2018).
Mengapa penting memahami informasi di atas?
Masyarakat Indonesia memiliki sifat kolektivisme tinggi yang menitikberatkan keharmonisan hubungan antar-manusia sebagai hal yang sangat penting. Hal tersebut mendorong kita untuk menunjukkan perilaku dan ekspresi emosi yang dianggap ‘pantas’ di mata masyarakat sehingga kita merasa ‘diterima’ oleh orang lain (Halberstadt & Lozada, 2011; Wandansari, 2020). Beberapa budaya di Indonesia, seperti Jawa, memiliki prinsip ‘ngemong’ yang memandang bahwa konflik sebisa mungkin harus dihindari (Subandi, 2011). Prinsip tersebut mendorong masyarakat Suku Jawa untuk cenderung menoleransi perilaku buruk orang lain (bersikap sabar) dan tidak menunjukkan ekspresi emosi negatif yang mampu memicu perasaan tidak nyaman pada diri orang lain.
“Jangan cemberut gitu, ga enak dilihat orang lain.”
Selain itu, banyak masyarakat Indonesia yang memiliki pandangan bahwa laki-laki harus menjadi figur yang ‘kuat’ dan tidak menunjukkan kelemahan lho, salah satunya adalah dengan menutupi ekspresi emosi sedih–seperti menangis–yang dianggap menunjukkan kelemahan (Putri dkk., 2012). Padahal, menangis tidak menjadi tanda bahwa kita lemah ya teman Wiloka! Ketika kita menangis, kita bersikap jujur kepada diri sendiri bahwasanya peristiwa yang terjadi memang membuat kita sedih.
“Masa anak laki-laki nangis? Yuk, tenang.”
Tanpa sadar, hal-hal di atas membuat orang tua menerapkan strategi emotion dismissing. Orang tua berusaha menekan ekspresi emosi negatif yang muncul pada anak dan kehilangan kesempatan untuk mendidik anak terkait cara merespon peristiwa serupa di kemudian hari dengan lebih efektif.
Nah, apakah teman Wiloka tertarik untuk menerapkan strategi emotion coaching? Tentunya saat menerapkan strategi tersebut, terdapat tantangan tersendiri yang dapat muncul, seperti tekanan dari orang sekitar (contoh: keluarga besar dan tetangga) yang justru meminta anak untuk tidak menunjukkan ekspresi emosi negatif (alias menggunakan strategi emotion dismissing). Sebagai orang tua, penting bagi kita untuk tidak terpengaruh oleh tekanan sosial tersebut dan menunjukkan ketegasan di mata anak bahwa kita mengakui dan menghargai pengalaman emosi mereka ya!
Referensi:
Halberstadt, A. G., dan Lozada, F. T. (2011). Emotion Development in Infancy through the Lens of Culture. International Society for Research of Emotion, 3(2), 158–168. https://doi.org/10.1177/1754073910387946
Karolina, R. R. (2022, Juni 3). Mengenal dan Memvalidasi Emosi. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-singkawang/baca-artikel/15077/Mengenal-dan-Memvalidasi-Emosi.html
Li, P. (2022, Juni 28). Emotion Dismissing Parent – Why Common Parenting Practice Is Harmful To Kids. Parenting For Brain. https://www.parentingforbrain.com/emotion-dismissing-parent/#:~:text=What%20is%20emotion%20dismissing%3F,negative%20feelings%20or%20emotional%20expression.
Melksham Resilience Project. (n.d.). Example Emotion Coaching Scripts. https://www.astreacottenham.org/wp-content/uploads/2021/03/EC-Scripts.pdf
Peverley, E. (2021, Februari 1). 5 Common Phrases Used By An Emotion Dismissing Parent. Moms. https://www.moms.com/emotion-dismissing-parent-phrases/
Putri, A. K., Prawitasari, J. E., Hakim, M. A., Yuniarti, K. W., dan Kim, U. (2012). Sadness as perceived by Indonesian male and female adolescents. International Journal of Research Studies in Psychology, 1(1), 27–36. https://doi.org/10.5861/ijrsp.2012.v1i1.22
Santrock, J. W. (2018). A Topical Approach to Life-span Development (9th ed.). McGraw Hill Education.
Subandi, M. A. (2011). Family Expressed Emotion in a Javanese Cultural Context. Culture, Medicine and Psychiatry, 35(3), 331–346. https://doi.org/10.1007/s11013-011-9220-4
Wandansari, Y. (2020). Emotional Coaching oleh Ibu pada Anak Prasekolah. Experential, 8(1), 11–19.
*penulis merupakan mahasiswa magang Wiloka Workshop
0 Comments