Oleh: Lili Lailatul Al Fitri

Pain doesn’t equate to pretty. Pain equates to pain. Please stop invalidating a real illness just because you want to be “on trend.” Please stop contributing to an already toxic stigma. – Itschi

Pernah dengar orang yang bangga memiliki gangguan pada kesehatan mentalnya? Padahal, sejatinya belum terbukti kalau mereka menderita gangguan tersebut. Ternyata, tanpa kita sadari kondisi ini sedang marak terjadi di masyarakat. Dalam ilmu psikologi, hal ini disebut sebagai romantisasi gangguan mental. Istilah romantisasi gangguan mental berarti kondisi ketika gangguan mental dianggap sebagai sesuatu hal yang yang estetik, keren, dan lebih baik dibandingkan dengan kondisi yang sebenarnya atau kondisi normal seseorang. Romantisasi gangguan mental sering disebut juga sebagai beautifully painful atau suatu anggapan bahwa gangguan mental merupakan hal yang menarik.

Romantisasi gangguan mental bisa berujung kepada maraknya self-diagnosed yang berbahaya kepada diri seseorang maupun orang disekitarnya (North Texas Daily, 2020). Self-diagnosed atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai mendiagnosis (penyakit) secara mandiri tanpa bantuan profesional. Srivastava (2016) mengatakan bahwa diagnosis mandiri merupakan proses yang dilakukan seseorang dalam mengamati sesuatu yang ada dalam diri, gejala patologi yang dimiliki dan kemudian melakukan identifikasi penyakit ataupun kelainan berdasarkan pengetahuannya sendiri atau informasi di internet yang populer tanpa berkonsultasi secara medis dengan profesional. Akibatnya adalah banyak orang yang enggan untuk mencari bantuan secara profesional karena dirasa cukup melakukan diagnosis mandiri. Selain itu, dampak lain yang muncul akibat romantisasi kesehatan mental diantaranya adalah, ketidakpercayaan publik dan hilangnya respek terhadap pengidap gangguan sebenarnya (Loyensya, E.A., 2021).

Lantas, pertanyaannya adalah mengapa romantisasi kesehatan mental bisa terjadi? Hal ini berawal dari penggunaan media sosial yang menawarkan segala bentuk kebebasan untuk mengekspresikan pikiran terbuka terhadap diskusi terkait masalah kesehatan mental dalam rangka mempromosikan rasa kebersamaan (Yu, 2018). Kemudian dampak dari kebebasan tersebut adalah munculnya risiko adanya stigmatisasi dan penyalahgunaan platform media sosial yang memunculkan perilaku maladaptif atau menyimpang terkait gangguan kesehatan mental. Kondisi ini dapat kita amati dalam berbagai platform media sosial dimana tiap orang seakan berlomba untuk mengunggah cuitan terkait kondisi mentalnya padahal belum ada diagnosis medis yang membuktikan. Ibarat kata, orang yang terlihat paling menyedihkanlah yang percaya diri, orang yang sebenarnya kesakitanlah yang bersembunyi. Padahal, kondisi demikian bukanlah sebuah ajang perlombaan yang patut dipertontonkan. Hal inilah yang kemudian menjadikan munculnya romantisasi kesehatan mental.

Penting bagi kita untuk mengetahui betapa berbahayanya romantisasi kesehatan mental. Utamanya di tengah gempuran badai pemakaian internet sebagai media utama mencari informasi. Sampai-sampai kita kenal adanya “Dr. Google” sebagai metode self-diagnosis yang paling umum (Patient.info, 2021). Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan untuk mencegah terjadinya kondisi tersebut, diantaranya :

Memiliki isu kesehatan mental bukanlah sebuah “tameng”

Isu kesehatan mental jangan kita jadikan alasan untuk berbuat sesuka hati. Yang perlu diperhatikan adalah bahwasanya kita perlu mencari pertolongan kepada ahlinya. Ada kalanya kita berhak untuk menjelaskan kondisi kesehatan mental yang sedang kita alami agar tidak menimbulkan kesalahpahaman dengan orang lain.

Menghindari self-diagnose 

Memiliki self-awareness atau kesadaran akan isu kesehatan mental itu memang penting, namun kita tidak perlu memvonis diri kita sendiri bahkan jika kita seorang ahli sekalipun. Walaupun informasi dan tes terkait kondisi kesehatan mental di internet sudah banyak, kita tidak bisa serta merta mempercayai hasil yang tertulis di sana, karena sebetulnya, proses diagnosis tidak sekedar mencocokkan antara daftar simptom atau gejala dengan apa yang dialami. 

Menguatkan kemampuan empati kepada orang lain

Perasaan tidak nyaman yang kita miliki bukanlah sesuatu yang salah dan tidak perlu kita hindari. Namun, di lain sisi, tidak selamanya kita perlu mengutarakan apa yang ada di benak dan pikiran kita. Terkadang kita perlu memposisikan diri kita menjadi orang lain. Maksutnya adalah dengan memperhatikan apakah sesuatu yang kita sampaikan itu akan menyinggung atau melukai perasaan mereka. Pun diri kita sendiri perlu menyaring informasi atau perkataan yang berasal dari orang lain karena tidak semua yang mereka sampaikan sesuai dan sepemikiran dengan kita. Karena sejatinya, tiap orang memiliki hati dan pemikirannya sendiri-sendiri. Jangan berusaha untuk memaksakan sesuatu yang berbeda, jika hal itu hanya akan menyakiti diri kita sendiri.

 

Agar tidak jatuh dalam romantisasi kesehatan mental, kita perlu lebih jujur terhadap diri kita sendiri. Karena self-awareness memang penting dan patut dijadikan sebuah kebutuhan. Baik terhadap apa yang kita rasakan, bersikap dan dalam berucap. Yang perlu diingat adalah adanya batasan dalam berego dan lebih menggunakan sikap berempati ketika menyuarakan suara hati (Irwan, 2021).

 

Sedih karena sesuatu bukan berarti kamu punya depresi

Cemas karena suatu hal bukan berarti kamu punya anxiety

Punya mood yang berubah – ubah bukan berarti kamu mengidap bipolar – riliv

 

Referensi:

Bashfort, E. (2021). Does self-diagnosis work and what are the dangers?. Patient.info. Retrieved from https://patient.info/news-and-features/does-self-diagnosis-work-and-what-are-the-dangers.

Irwan.  (2021). Menghindari Romantisisasi Mental Illness. Retrieved from https://twitter.com/xoxowantja/status/1403549512400994308

Loyensya, E.A. (2021, October). Meromantisisasi Gangguan Mental dan Menganggapnya Estetik, Wajarkah? ITS News. Retrieved from https://www.its.ac.id/news/2021/10/07/meromantisisasi-gangguan-mental-dan-menganggapnya-estetik-wajarkah/#:~:text=Romantisisasi%20gangguan%20mental%20adalah%20kondisi,dibandingkan%20dengan%20kondisi%20yang%20sebenarnya.

North Texas Daily. (2020, September 8). Self-diagnosing is dangerous. Retrieved from https://www.ntdaily.com/self-diagnosing-is-dangerous/ Yu, J. (2018, 16 Oktober). Glorification of mental illness worsens cultural stigma.  Collegiate Times. Retrieved from http://www.colegiatetimes.com/opinion/glorification-of-mental-illness-worsens-cultural-stigma/article_ee290ca8-d154-11e8-8f43-6f787c05d16a.html

*Penulis merupakan mahasiswa magang Wiloka Workshop


0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: