Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang akan melakukan interaksi dengan orang lain. Interaksi dengan orang lain tidak hanya menghadirkan kontak fisik-verbal semata. Di dalamnya terdapat pula unsur emosi atau perasaan yang ikut hadir. Seringkali, emosi yang timbul saat berinteraksi tidak hanya emosi positif saja, namun juga emosi negatif. Nah, emosi negatif ini yang akan dapat berpotensi menimbulkan persoalan bagi interaksi maupun proses dialog. Munculnya emosi negatif saat berinteraksi dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain:

  • Adanya ingatan terhadap peristiwa tidak menyenangkan di masa lalu
  • Persepsi negatif terhadap ungkapan atau kalimat dari orang lain, seperti kata-kata yang menyinggung perasaan kita.
  • Pernyataan orang yang ternyata sebetulnya sesuai dengan diri kita tapi kita tidak bersedia menerimanya. Biasanya ini merupakan fakta yang kurang baik bagi kita 

Selain emosi atau perasaan negatif, hambatan berdialog dengan orang lain juga dapat bersumber dari sikap kita yang memaksa orang lain untuk memahami pikiran kita sendiri. Misalnya, ketika anak tidak memberikan penjelasan terhadap orang tua, saat mereka marah atau merajuk. Anak memaksakan orang tua untuk memahami apa yang diinginkan oleh anak. Namun bisa juga sebetulnya anak sudah memberikan penjelasan kepada orang tua, tapi penjelasannya menggunakan istilah-istilah kekinian yang tidak dimengerti orang tua. Di sisi lain, orang tua pun terkadang memberikan penjelasan terhadap anak dengan bahasa yang belum dimengerti anak. Di tempat kerja pun hambatan karena hal ini sering terjadi. Sebagai contoh, seorang atasan yang terkadang memberikan penjelasan terhadap bawahan level operasional harian dengan bahasa teoritis. Hambatan pun dapat terjadi karena pihak penerima tidak mampu memahami konteks bahasa yang digunakan oleh pengirim pesan.
Konteks dan muatan berbahasa menjadi penting karena bahasa merupakan jembatan untuk menyampaikan pikiran kita terhadap orang lain. Kita perlu memilih dan memilah kata yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan sehingga akan membantu lawan dialog dalam memahami pemikiran kita. Memilih kata pun cukup berpengaruh dalam membangun kedekatan dengan lawan dialog.

Pengalaman yang tidak menyenangkan juga akan menjadi hambatan dialog dengan orang lain. Pengalaman yang pernah menimbulkan rasa kurang mengenakan pada satu konteks situasi, lokasi, atau sosok akan dapat menimbulkan asosiasi (pengaitan konteks) negatif terhadap situasi, lokasi, atau sosok yang mirip dengan pengalaman sebelumnya:
“Kalau aku minta ini pasti bapak ibu nanti marahin aku, nasehatin ini itu dan kemana-mana gitu nasehatinnya”(Pikiran muncul ketika ingin meminta barang kepada orang tua, setelah dulu pernah dimarahi ketika meminta barang).
“Nah, ini nih mesti gara-gara tadi. Aku gak mau ikut acara kampung bareng ibu mertua, habis itu suamiku mesti mau marahin aku lagi deh” (Pikiran muncul saat suami memanggil istri untuk bicara berdua setelah melihat suami keluar dari kamar ibu mertua. Satu bulan yang lalu, ia dan suami pernah bertengkar hebat setelah ia dan ibu mertua pergi bersama karena perilakunya yang dianggap menyinggung ibu mertua).
“Pasti ini nanti juga cuma rapat, ngumpul dan gak ada perubahan” (pikiran muncul saat atasan mengumpulkan tim tiba-tiba. Sebelumnya, atasan tersebut pernah beberapa kali mengadakan kegiatan serupa setelah ada persoalan namun aktivitas di dalam pertemuan tidak jelas dan tidak efekif bagi penyelesaian masalah di bagian tersebut).
Melancarkan dialog juga berarti belajar mengelola pikiran agar dominan sisi positifnya. Jika sudah berpikir positif kita juga akan terhindar dari kebiasaan menggunakan pikiran sendiri atas orang lain. Tanpa mengatakan dengan jelas baik secara verbal atau tindakkan jangan harap orang lain memahami apa yang kita pikirkan ya.

Kebanyakan pasangan memilih diam ketika jengkel kepada pasangannya yang tidak peka dengan keinginannya.  Apakah pasangan akan memahami jika kita hanya diam? Pasangan tidak akan paham lho! Hal ini justru akan merusak hubungan jika kita mempunyai pola pikir “Aku pikir dia tau apa yang aku pikirkan, kan kita udah lama bersama” atau “Dia seharusnya mengerti maksud dan keinginanku dong” . Maka dari itu, jika ingin hubungan berjalan lancar dan apabila ingin masalah dapat terselesaikan, kita harus menghindari menggunakan pikiran sendiri tanpa menyampaikannya. Hindari kebiasaan untuk meminta pihak lain memahami apa yang kita pikirkan tanpa kita sampaikan dengan jelas.
Salam,
Tim Wiloka
       

0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: