Oleh: Lucia Peppy Novianti

“Itulah….menempatkan tanggung jawab pendidikan hanya pada sekolah. Padahal, proses di rumah juga ‘sek’ perlu dibangun. Jadi mau di mana saja ‘kudune’ ga masalah (proses belajar)”

Obrolan tersebut mendorong saya untuk menulis artikel ini. Saya dan seorang sahabat yang awalnya hanya ingin saling menyapa, lalu berlanjut pada obrolan bertema agak serius ini, yakni tentang fenomena kegelisahan orangtua dengan proses sekolah di masa pandemi ini.

Sudah satu tahun pandemi ini berlangsung. Dampaknya pun semakin terasa juga pada anak-anak. Ya, anak-anak yang harus beralih dari proses belajar tatap muka menjadi pembelajaran daring ternyata memiliki tantangannya sendiri. Kesulitan tidak hanya dialami oleh anak, namun juga para orangtua. Dari beberapa keluhan, didapati tema-tema seperti kesulitan membagi waktu antara mendampingi anak belajar dengan bekerja, kesulitan dalam memahami materi ajar, kegagapan teknologi pembelajaran, kebosanan, kekhawatiran terhadap dampak kecanduan gadget, kekhawatiran terhadap perkembangan tumbuh kembang anak, sampai pikiran bahwa generasi ini akan menjadi ‘bodoh’ atau tertinggal karena anak-anak tidak mengenyam proses belajar formal dengan ‘semestinya’ (dalam hal ini maksudnya pergi ke sekolah secara fisik seperti umumnya).

Situasi saat ini memang sangat menantang, baik dari aspek kesehatan, ekonomi, dan berbagai aspek kehidupan lainnya, termasuk pendidikan.  Bisa jadi karena kelelahan menjalani situasi saat ini, termasuk mendampingi sekolah dari rumah, orangtua jadi berpikir memilih sekolah kembali tatap muka daripada tetap luring sebagai alternatif terbaik.

Di luar pertimbangan persoalan paparan virus dan risikonya, kita juga perlu memasukkan dalam diri kita tentang esensi belajar. Apa ya yang dapat kita lakukan atau masukkan dalam konsep pikiran sehingga dapat membantu sistem pikir dan rasa kita sebagai orangtua agar dapat menurunkan ketegangannya bila kenyataannya pembelajaran dari jarak jauh masih menjadi pilihan terbaik saat ini. Mari kita pertimbangkan beberapa hal berikut:

Mengingat kembali esensi belajar: Belajar bisa dari mana saja dan di mana saja.

Saat ini belajar seperti menjadi dimaknai sempit pada proses formal di sekolah. Padahal, belajar sejatinya tidak terbatas pada ruang kelas. Tentu tidak dapat naïf ya bahwa anak-anak kita perlu ikut atau setidanya memahami dan menyesuaikan dengan kenyataan terkait aturan atau proses pendidikan arus utama. Namun yang perlu kita ingat bahwa saat ini ada situasi pandemi. Bahwa sebetulnya proses belajar tetap berjalan hanya dengan latar situasi berbeda. Bahwa kita perlu berfokus pada esensinya daripada sekedar kekhawatiran tidak mampu mengejar substansi.

Bila persoalannya adalah tekanan karena menjalani pembelajaran dari rumah, maka mari kita bijak berfokus pada menemukan apa yang menjadi sumber penyebab. Apakah kewalahan ini terjadi karena kita sebagai orangtua kesulitan mengikuti materi pembelajaran dan cara mengajarkannya? Atau karena keterbatasan waktu? Atau karena jauh dari ekspektasi kita sebagai orangtua tentang proses belajar maupun capaian belajar anak?Mari kita mencoba memetakan. Dengan memahami dan menyadari apa yang menjadi sumber kesulitan dalam mendampingi anak belajar dari rumah, maka kita akan dapat mencari solusi terbaik, daripada terburu-buru meminta pembelajaran tatap muka tanpa pertimbangan matang.

Belajar sebagai kebiasaan dan sikap mandiri

Belajar juga merupakan sebuah perilaku. Apakah rumus dasar belajar? Belajar, bila diistilahkan secara mudah, adalah proses dari tidak tahu menjadi tahu. Bagaimana caranya? Dengan cara mencari, mendalami, mempelajari, berproses. Maka, bagaimana bila kita kembali pada konsep dasar ini? Bahwa sekolah berupa proses belajar dari rumah yang harus dijalani anak-anak kita berpegang pada prinsip dasar: dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak paham menjadi paham.

Belajar dari rumah dalam kegiatan sekolah saat ini dapat menjadi sarana anak-anak kita untuk kembali pada esensi dasar belajar: dari tidak tahu menjadi tahu. Untuk menjadi tahu kita dorong dan stimulasi anak untuk mengeksplorasi, misalnya, ketika dari tugas sekolah harian ada hal yang tidak diketahui, maka kita dapat mendorongnya untuk mengkritisi: bagaimana ya supaya aku dapat menyelesaikan tugas ini? Apakah dengan mencari pada bacaaan, apakah mendapatkan jawabannya dari barang-barang di sekitarku, apakah dengan bertanya, apakah dengan mencoba aktivitasnya, atau dari mana ya? Tugas kita sebagai orang tua adalah mendampingi anak, memicu pikiran kritisnya, serta dapat pula dengan memberi arahan atau petunjuk-petunjuk untuk anak-anak kita bisa lebih kritis.

Belajar merupakan bagian dari proses bertumbuh: aspek berpikir

Pernahkan mengenal atau mendengar tentang konsep growth mindset. Growth mindset adalah tentang kemampuan pikir secara terbuka terhadap hal baru, kemungkinan lain, sudut pandang berbeda maupun logika analisis yang lebih kompleks. Lawan dari growth mindset adalah fixed mindset. Ini menggambarkan kondisi pola berpikir yang cenderung kaku, tidak fleksibel sehingga tidak melihat adanya potensi kemungkinan cara pandang berbeda ataupun perubahan.

Ketika anak-anak menjalani pembelajaran jarak jauh, BDR, sebetulnya dapat dilihat sebagai potensi melatih kemampuan cara pikir growth mindset-nya. Anak-anak diberi panduan ataupun materi dasar dan soal, biasanya. Namun, karena memiliki ruang belajar dan berproses berbeda, ada potensi dapat menghadirkan kebiasaan berpikir luas. Ini tentunya akan dapat berlangsung ketika kita sebagai orangtua memberikan ruang berproses dalam belajar kepada anak-anak, daripada sekedar menyelesaikan tugas dari gurunya. Walaupun, bisa jadi akan sangat menantang juga sih, karena tentu anak akan banyak bertanya karena rasa ingin tahunya. Ini jadi tantangan bagi para orangtua juga ya nantinya? Tapi, bukankah tantangan yang akan dihadapi orangtua akan dapat sebanding bahkan jauh lebih kecil dibandingkan capaian anak dalam hal kemampuan pikir yang terbuka dan bertumbuh ini? Sila direnungkan ya.

Mengamati dan membersamai anak dalam menjalani proses pembelajaran formalnya adalah salah satu sekolah penting kita para orangtua. Bila kita mau berpikir sejenak secara positif, situasi pandemi yang mendorong kita untuk lebih banyak membatasi interaksi sosial ini, sebetulnya juga sekaligus mengingatkan kita lho tentang esensi belajar. Banyak orangtua mulai terlena menyerahkan sisi belajar anak pada sekolah semata. Padahal, tugas orangtua pula untuk mendampingi anak dalam mematangkan kemampuan belajarnya. Bahwa belajar perlu dibangun sebagai suatu kebiasaan, perilaku yang menyertai keseharian. Oleh karena itu, daripada sibuk merutuki dan memaksa sistem kembali berjalan seperti masa lalu, akan lebih baik bila kita membangun kembali konsep dasar belajar bersama anak-anak kita.

Tetap semangat ya para orangtua hebat!!!

Categories: Keluarga

0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: