Illustration: Julliete Borda (www.wsj.com)
Oleh: Lucia Peppy Novianti, S. Psi., M.Psi., Psikolog

“Ih terserah deh Papa mau ngapain aku. Pokoknya aku udah ga mau lagi denger omongan Papa! Sudah malas juga bicara ama Papa!”

“Kenapa ya, kok aku sulit sekali untuk bisa nyambung ama Mami? Apa aja selalu diatur! Mami sok tahu!”

“Ah males ah ngomong ama mama, mesti ga nyambung!”

    Beberapa kali bertemu dengan klien usia remaja dan di sela-sela pembicaraan, terlontar ungkapan yang menyatakan bahwa si remaja merasa kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang tua sejenis kelamin (anak perempuan dengan Ibunya atau anak laki-laki dengan ayahnya). Bahkan, beberapa remaja juga menyatakan kesulitan untuk berdialog dengan kedua orang tuanya. Dalam pandangan mereka, orang tua tidak mau memahami, tidak mau mengerti, ‘cuma marah-marah aja’. Kondisi ini pun membuat mereka ‘tidak tertarik’ untuk menjalin interaksi dengan orang tua, apalagi berdialog secara mendalam. Pada pengalaman yang lain, berjumpa pula dengan orang tua yang menyatakan kesulitan untuk memahami anak remaja mereka. Satu saat si orang tua berusaha mengikuti kemauan tapi si remaja malah semakin bertindak di luar kendali (menurut orang tuanya) yang kemudian berlanjut pada sikap orang tua yang lebih penuh pengaturan akibat respon si anak tersebut. Namun sebetulnya, masih ada pula hubungan orang tua dan anak remaja yang baik-baik saja dan mampu tetap menjalin dialog dengan orang tuanya, bahkan mampu menjalin kedekatan seperti layaknya sahabat. Apa ya yang berkontribusi pada perbedaan kualitas hubungan orang tua anak (remaja) ini? Berdasarkan pengamatan, ada beberapa hal yang turut menentukan bagaimana interaksi yang akan terbangun antara orang tua dengan anak remajanya, yaitu:

Kebiasaan dalam keluarga: suasana kedekatan emosional

    Bagaimana suasana dan atmosfer kehidupan dalam sebuah keluarga akan menjadi dasar dari interaksi yang terjalin antara anak dengan orang tuanya ketika memasuki usia remaja. Apabila keluarga dibangun dengan suasana psikologis yang juga nyaman, penuh sikap saling memahami dan memperhatikan, serta bernuansa emosi positif yang lebih dominan daripada berbagai emosi negatifnya, maka biasanya dialog akan lebih mudah terjalin ketika anak dalam keluarga tersebut beranjak remaja. Mengapa demikian? Situasi dan atmosfer dalam keluarga yang penuh dengan kenyamanan emosional akan menghasilkan situasi yang nyaman bagi siapapun termasuk bagi si anak. Rasa nyaman dan aman ini akan membuat seseorang lebih bersedia terbuka berdialog karena keinginan untuk mendapatkan dukugan dan memberikan dukungan. Maka,  membangun situasi emosional yang positif dan penuh dukungan dalam keluarga penting sebagai dasar untuk menciptakan dialog yang lancar dengan anak berusia remaja di keluarga.

Sikap orang tua terhadap anak remajanya: dominasi mengatur-menuntut daripada mendengarkan untuk memahami 

    Sejak anak lahir, beranjak batita, lalu mulai memasuki lingkungan sosial yang lebih luas (misalnya sekolah), anak mengalami proses pembelajaran hal-hal baru secara terus menerus. Oleh karena itu, orang tua terbiasa memberi respon sebagai ‘pelatih’ anak dalam menghadapi hal-hal baru tersebut. Contohnya, ketika beranjak usia 1 tahun, maka orang tua yang melihat anak mulai berdiri dan beranjak pun mengajari anak untuk berjalan (menetah). Ketika kemudian anak mulai berkata-kata tidak jelas, orang tua merespon dengan melatih beberapa kata sederhana dan meminta anak menirukan. ketika anak sudah mulai menguasai aktivitas motorik/ fisik dan bahasa, orang tua melanjutkan dengan melatih anak untuk berinteraksi dengan orang lain. Pola-pola tersebut melahirkan kebiasaan bahwa ‘orang tua yang merancang dan mengarahkan kehidupan anak’. Ketika memasuki usia remaja, seorang anak secara kognitif mulai semakin matang apalagi secara motorik. Sesorang sudah ibaratnya dikatakan mulai utuh sebagai manusia, padahal belum sepenuhnya matang karena perkembangan emosi dan logikanya belum sepenuhnya terlatih. Situasi ini mudah membuat seorang remaja merasa tidak cocok lagi bila hanya melakukan perintah atau arahan dari orang lain, termasuk orang tuanya. Sementara, orang tua masih sering kali tergoda menjadi pelatih atau pengatur kehidupan anak. Bisa dilihat kan bagaimana konsep antara anak dan orang tua saling bertolak belakang? Hal inilah yang salah satunya dapat menjadi penghambat untuk orang tua dan anak berusia remaja menjalin kedekatan. Di satu sisi orang tua masih berkonsep mengatur-menuntut sementara di sisi lain remaja merasa memiliki pikiran yang berharap didengarkan, diberi ruang lebih, dan dihargai. Akan lebih tepat dan mendukung bila ketika memasuki usia remaja, orang tau mengubah konsep pikir dan cara bersikapnya terhadap anak dari mengatur menuntut menjadi mendampingi dan mengarahkan.

Kesadaran peran tentang masing-masing pihak

    Poin ini berkaitan dengan poin kedua di atas. Biasanya, orang tua yang masih memelihara sikap mengatur-menuntut karena cenderung kurang mampu pula ‘bertumbuh’ sebagai orang tua. orang tua tetap berada pada fase bahwa anak adalah seseorang yang ‘tidak mampu apa-apa’ seperti bayi”. Ketika penyesuaian kurang mampu diikuti orang tua maka orang tua akan cenderung melihat peran anak sebagai pihak yang tidak berdaya sehingga orang tua perlu menjadi pihak yang mengatur dan menuntut anak mampu melakukan sesuai arahan mereka. Di sisi lain, anak yang berusia remaja ini kemudian sering kali terlalu cepat mengubah peran mereka. Beberapa remaja  merasa ‘sudah mampu melakukan segala sesuatu sendiri’ sehingga mengambil peran sebagai seorang dewasa. Tandanya apa? Seperti kurang mau mendengarkan atau diberi masukkan. Padahal sebetulnya ia masih perlu terus berlatih dalam beberpa hal, seperti misalnya mengelola emosunya maupun masa transisinya. Nah di sini terlihat bagaiman kedua pihak yang kurang mampu menempatkan perannya secara tepat maka akan mudah untuk berada pada situasi kesulitan berdialog. 

Kesadaran orang tua pola hubungan dalam keluarga yang ditumbuhkan  

   Sering kali permasalahan yang timbul pada anak (remaja) justru sebetulnya bersumber dari kehidupan pasangan, yakni kesehatan hubungan antara si ayah dan ibu. Pada keluarga yang sebetulnya tidak berjalan dengan semestinya, sering kali ayah dan ibu secara tidak sadar telah membangun aliansi dalam keluarga untuk semacam memenangkan dirinya terhadap pasangan (si suami atau si istri). Hal ini dipaparkan oleh ahli Psikologi Keluarga Virginia Satir. Pada keluarga yang disebut disfungsional ini dipaparkan bahwa biasanya ketidakpuasan pada pasangan akan membuat masing-masing pihak membangun aliansi dangan anak lawan jenis untuk ‘melawan’ pasangannya: Ibu membangun aliansi dengan anak laki-lakinya sehingga dapat meluapkan atau membangun kekuatan untuk melawan si ayah/ suami atau ayah membangun aliansi dengan anak perempuannya untuk melawan ibu/ istrinya. Nah, bila ternyata kehidupan berpasangan antara suami istri memang penuh dengan konflik dan persaingan, penuh keinginan untuk mengalahkan atau membalas atau penuh kekecewaan, maka persoalan dialog antara orang tua dengan anak sejenis kelamin akan semakin mudah terjadi. 
    Lalu, bagaimana ya upaya yang perlu dilakukan untuk dapat membangun kedekatan dan kelancaran dialog dengan anak yang berusia remaja? Simak lanjutan artikelnya, mengenai bagaimana membangun kembali dialog dengan anak usia remaja pada artikel minggu depan ya 🙂

0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: