Gambar: instagram.com/bymariandrew
Oleh Lucia Peppy Novianti, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Ketika mengalami kedukaan, baik kehilangan karena orang tercinta meninggal atau karena berakhirnya suatu ikatan, sering kali saran paling banyak adalah “sudah lah dilupakan aja”, “Ayo move on”, “lupakan deh..”, “berdamai aja deh…”. Ya, saya ingin bangkit, ya saya ingin maju, move on, tapi mengapa terasa sulit?”
Secara sadar, kita sebetulnya mungkin paham bahwa pengalaman buruk tersebut perlu diikhlaskan. Perlu usaha untuk dapat menerima dan menjadi lebih legowo. Namun, sering kali hal ini sangat sulit dilakukan. Tidak jarang pula, semakin besar usaha untuk melepaskan justru ternyata semakin sulit pula rasanya, bahkan bayangan tentang pengalaman itu semakin sering hadir. Bagaimana ya supaya kita dapat berdamai dengan pengalaman tidak menyenangkan tersebut?
Ketika mengalami kejadian yang tidak menyenangkan, pasti emosi yang dominan muncul adalah emosi negatif seperti marah, sedih, kecewa, takut ataupun benci. Hadirnya emosi negatif yang mungkin cukup besar menimbulkan rasa sakit juga luka batin. Karena diri kita terluka tentu ada rasa tidak nyaman. Lalu ketika tersadar bahwa harus tetap berjalan menjalani kehidupan selanjutnya, kita perlu menemukan langkah pertama untuk dapat berbalik dan kembali bangkit.
Langkah pertama sering kali terasa berat, demikian juga setelah peristiwa kedukaan. Dalam sebuah riset disebutkan bahwa ada setidaknya 3 hal yang akan mendukung upaya ini: penerimaan pengalaman kedukaan, dukungan orang terdekat, coping melalui sikap religius pribadi. Penerimaan menjadi langkah awal untuk dapat bangkit dan kembali melangkah.  Sering kali seseorang  sulit move on karena tidak adanya kehadiran penerimaan bahwa kita sedang terluka, apalagi pengakuan. Ketika diri sulit menerima kondisi, maka diri kita setiap hari melakukan penyangkalan-penyangkalan. Kelelahan pun niscaya terjadi.

Bagaimana agar dapat menerima peristiwa yang dialami dan menghentikan penyangkalan? Mengalihkan fokus perhatian bukan cara yang efektif karena hanya bersifat sementara. Akan lebih tepat bila kita belajar untuk menyadari bahwa kita sedang kehilangan, bahwa ada yang hilang dari kehidupan kita, bahwa kita sakit, terluka, kecewa karena peristiwa ini. Upaya menerima apa yang sedang dialami ini biasanya akan diikuti dengan gejolak emosional bahkan respon seperti menangis atau menjadi lunglai. Sadari tangisan kita, sadari alasan kita menangis. Apakah karena perpisahannya? Apakah karena kerinduannya? Apakah karena ada yang belum kita selesaikan dan kita merasa bersalah? Atau karena apa? Ya, mencari makna atas apa yang kita rasakan merupakan bagian dari proses untuk menerima diri. Setelah itu, akui kepada diri sesuai makna yang telah kita temukan. Akui bahwa kita sedih karena sebetulnya kita merasa bersalah. Akui bahwa kesedihan karena merasa belum menyelesaikan tugas yang diberikan. Akui apa yang kita temukan. Dan ini semua dapat berlangsung, bila kita mampu jujur terhadap diri sendiri. 



0 Comments

Leave a Reply

%d bloggers like this: