Oleh: Lucia Peppy Novianti, S. Psi., M.Psi., Psikolog
Pada masa sekarang, menjalani hubungan jarak jauh sepertinya merupakan suatu hal yang akan banyak dijumpai. Bukan semata ‘trend’ atau gaya hidup, namun terkadangmenjadi pilihan kehidupan yang harus dihadapi. Semakin banyak pasangan yang perlu meninggalkan keluarganya dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupannya, seperti mendapatkan promosi jabatan atau pendapatan yang lebih baik atau untuk melanjutkan belajar. Adanya jarak geografis (secara fisik) dalam hubungan ini, baik yang sudah terikat pernikahan maupun hubungan kedekatan (pacaran), tentu akan menghadirkan pola interaksi yang berbeda daripada pasangan yang tinggal berdekatan. Lalu apa yang perlu menjadi pegangan penting sebagai kekuatan dalam menjalani hubungan? Setidaknya ada dua hal yang perlu disadari: komitmen dan komunikasi.
Berkomitmen
Komitmen berarti memiliki kesepakatan. Sebetulnya, ketika menjalani hubungan, apalagi sudah mengikat diri dalam pernikahan, komitmen sudah senyatanya sedang berlangsung. Persoalannya, apakah masing-masing pihak ini betul-betul menyadari ‘apa’ yang disepakati bersama serta ‘bagaimana’ kesepakatan itu berlangsung? Sering kali ditemui orang-orang yang tidak betul-betul memahami komitmen yang sedang dibangun bersama pasangan. Yang mereka sadari adalah bahwa berkomitmen artinya mereka memiliki ikatan, itu saja. Padahal, untuk membangun hubungan yang kuat dan sehat sangat diperlukan pemahaman yang sama tentang kesepakatan ini, apalagi apabila antarpasangan terpisah jarak dan domisili.
Ketika akan memasuki hubungan jarak jauh, maka perlu sekali untuk melihat ulang bagaimana komitmen yang sedang berlangsung bersama pasangan. Ajak pasangan untuk melihat bersama ke dalam interaksi hubungan selama ini, tentang:
Menyadari komitmen atau kesepakatan yang ada. Yakni melihat kembali apakah hal yang disepakati (atau sepertinya disepakati) memang dijalankan masing-masing pihak?
Bagaimana cara masing-masing pihak dalam menjalankan komitmen tersebut? Apakah masing-masing pihak dapat menggambarkan cara dan prosesnya dengan jelas? Atau justru tidak dapat mengenali apa yang telah dilakukan selama ini?
Hal-hal apa sajakah yang dirasa penting bagi masing-masing pihak untuk disepakati dalam situasi hubungan yang baru nantinya.Ini dapat berkaca dari pengalaman apa yang disepakati selama ini: mana yang penting, mana yang bermanfaat untuk keluarga atau hubungan, dan semacamnya.
Bagaimanakah cara masing-masing dalam mewujudkan komitmen pada poin 3 di atas? Sehingga pihak lain (pasangan) dapat mengenali dan merasakan bahwa komitmen sedang berlangsung dan dihidupi oleh masing-masing pihak.
Berkomunikasi
Sudahkah kita betul-betul memiliki komunikasi dengan pasangan? Rata-rata pasti akan menyatakan “sudah”. Mengapa? Karena dalam sehari pasti ada waktu membalas pesan orbolan aplikasi (Whatsapp dan sebagainya) atau berbalas di media sosial atau bahkan pasti menelepon pasangan. Namun apakah itu betul-betul merupakan proses komunikasi yang memiliki kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan? Kualitas memang perlu dioptimalkan namun hal kuantitas juga perlu menjadi pertimbangan penting untuk juga diwujudkan. Ketika berpasangan, akan sangat mendukung bila yang dilakukan tidak hanya sekedar komunikasi, namun betul-betul berdialog. Berdialog berarti ada proses ‘timbal balik’ yang setara. Tidak hanya menerima pesan namun juga terjadi respon pesan secara langsung.
Lalu bagaimanakah proses berdialog ketika mengalami hubungan jarak jauh dengan pasangan? Untuk membangun dialog terutama ketika nanti berjarak, pastikan beberapa hal ini dapat hadir:
Sampaikan pesan (isi pikiran kita, keinginan, harapan, ketidaksetujuan, informasi yang ingin disampaikan, atau gambaran perasaan kepada pasangan) dengan jelas, bukan terselubung.Ingat, pasangan bukanlah ‘paranormal’ yang bisa memahami isi pikiran kita tanpa kita nyatakan.
Ketika menerima pesan dari pasangan (termasuk ekspresi perasaan): berikan respon baik respon logis (berarti menanggapi isi atau substansi pesan) maupun respon emosional (yang bermakna upaya kita memahami maksudnya).
Jangan lupa, sisipkan penghargaan dan pemahaman kepada pasangan.
Menemukan waktu yang tepat untuk berdialog tentang hal-hal penting atau yang memerlukan proses diskusi atau negosiasi.
Atur frekuensi sehingga dialog akan nyambung. Ini berarti penggunaan bahasa maupun cara penyampaian yang dipastikan dipahami oleh pasangan.
Mengupayakan rutinitas berdialog. Bila memungkinkan, jadwalkan melakukan dialog yang mendalam dan berkualitas dengan pasangan.
Dalam upaya memiliki dua hal mendasar di atas, tentu dibutuhkan keterlibatan kedua belah pihak. Kedua belah pihak perlu mengusahakan bersama karena sebuah hubungan dan komitmen akan dapat hidup bila ada dua pihak yang saling menjalin. Bagaimana bila hanya salah satu pihak saja yang bersedia? Hubungan dapat tetap saja berlangsung namun akan ada salah satu pihak yang semacam memiliki ‘beban’ karena harus berusaha untuk dirinya sendiri ditambah berusaha menarik pasangan melakukan ini. Oleh karena itu, mengajak pasangan untuk menyadari adanya kebutuhan memiliki komitmen dan dialog yang efektif akan menjadi awal yang penting daripada langsung membicarakan hal teknisnya, seperti bagaimana berkomunikasi, apakah yang perlu disepakati, bagaimana cara menyepakati dan seterusnya.
Membangun kesadaran ini dapat dimulai dari langkah dialog itu sendiri, apakah yang menjadi penting dalam hubungan ini dan kebutuhan dalam nanti berinteraksi jarak jauh. Dan tentunya, perlu sangat menyadari bahwa akan ada proses yang berlangsung. Ini berarti masing-masing pihak perlu pula memiliki kemauan untuk bertumbuh bersama, daripada berfokus pada keberhasilan segera memiliki kedua poin di atas. Kemauan berproses itu sendiri akan menjadi kekuatan yang luar bisa dalam menjalani hubungan yang penuh tantangan ini. Selamat mencoba….
Oleh: Hadara Naristya Elvita Apa itu trauma? Trauma adalah reaksi emosional terhadap peristiwa yang menyebabkan ketakutan, kebingungan dan ketidakberdayaan (APA Dictionary of Psychology). Menurut seorang psikolog medis Jenna Hennessey dari Universitas Columbia, trauma dapat mempengaruhi Read more…
Oleh: Agnes Angelina Paramita Apa yang teman Wiloka pertama kali pikirkan ketika mendengar kata ‘selingkuh’? Apabila selingkuh merupakan usaha mendua dari pasangan, tindakan apa saja yang dikategorikan sebagai perselingkuhan? Jika teman Wiloka menganggap hanya tindakan-tindakan Read more…
Oleh: Agnes Angelina Paramita Mendekati hari pernikahan, tidak jarang calon pengantin mencemaskan banyak hal, seperti kelancaran pelaksanaan pernikahan, pembagian tugas rumah tangga, perbedaan kebiasaan dengan pasangan, hingga apakah pasangan kita sudah merupakan orang yang tepat Read more…
0 Comments