oleh: Baskara Hasta Manggala
Tahukah kalian kalau emosi yang kita rasakan dapat berdampak pada fisiologis? Gazzaniga, dkk (2016) memberikan gambaran mengenai persebaran suhu tubuh yang berbeda menghadapi emosi yang berbeda pula melalui “Body Maps of Emotion”. Seperti contoh, ketika marah seluruh panas tubuh kita terpusat pada tubuh bagian atas. Sedangkan ketika bahagia seluruh panas tubuh cenderung tersebar merata. Hal ini memberikan dua kemungkinan atau argumen besar mengenai hubungan emosi dan fisiologi: apakah emosi spesifik memiliki respon fisiknya masing-masing, ataukah emosi dan fisik adalah satu kesatuan yang terkait? Apapun jawabannya, terdapat satu kesimpulan yang dapat ditarik—emosi dan fisik saling berkaitan dan dapat teramati.
Emosi dan Kontrol Emosi
Sebagai salah satu aspek kecerdasan sosio-emosional, kontrol emosi merupakan hal yang sangat vital. Bagaimana tidak, emosi menjadi hal yang berpengaruh kuat kepada aspek non-verbal saat kita berinteraksi dengan orang lain. Bisa terbayang bukan kalau semisal ketika kita merasa marah, tiba-tiba tangan kita sudah menghantam lawan bicara yang tidak kita sukai? Pasti interaksi yang ada akan menjadi tidak menyenangkan dan memberikan kita rasa bersalah atas hal yang tidak kita sadari atau sulit kita kontrol. Melihat contoh kasus di atas memberikan gambaran bahwa kontrol emosi adalah keterampilan yang betul-betul perlu untuk kita kuasai dalam kehidupan sosial. Untuk mempelajari keterampilan tersebut, kita perlu mengenali apa itu emosi dan bagaimana emosi dapat muncul.
Emosi adalah respons negatif atau positif langsung dan spesifik terhadap suatu lingkup peristiwa atau pemikiran internal yang mencakup tiga komponen: proses fisiologi, respons perilaku, serta perasaan yang didasarkan pada penilaian kognitif terhadap situasi dan interpretasi keadaan tubuh (Gazzaniga et al., 2016). Hal ini berarti, emosi adalah hal yang spontan sebagai bentuk respons kita terhadap apa yang kita hadapi dan rasakan. Mungkin terdengar sulit apabila kita perlu mengontrol reaksi spontan yang kita miliki—padahal, terkadang kita hanya perlu mengontrol perilaku yang kita keluarkan saja. Semisal ketika kita bertamu di rumah seseorang dan mendapati hidangan yang diberikan tidak begitu kita sukai. Daripada berkata “aku tidak suka”, orang dengan kontrol perilaku yang baik akan cenderung berkata “maaf, nanti saja” atau “saya sudah makan” untuk menghindari perasaan tidak nyaman. Kemampuan untuk menggambarkan ketidaknyamanan tanpa menimbulkan dampak negatif dalam berinteraksi tersebut adalah salah satu bentuk kontrol emosi. Kita menerima perasaan dan emosi yang kita dapatkan, tetapi memilih untuk menunjukkannya dalam bentuk yang asertif melalui proses berpikir dan mempertimbangkan risiko.
Asertivitas dalam Berkomunikasi
Mengekspresikan diri dalam bentuk yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain memerlukan kecakapan komunikasi asertif. Komunikasi asertif adalah kemampuan untuk berbicara dan berinteraksi dengan cara yang mempertimbangkan dan menghormati hak dan pendapat orang lain, tetapi juga membela hak, batas Anda sendiri, kebutuhan dan batasan pribadi (Pipas & Jaradat, 2010). Mengingat komunikasi saat ini yang masih didominasi oleh komunikasi lisan, kemampuan komunikasi asertif sangat erat kaitannya dengan kapabilitas manusia untuk menggunakan vokal (suara dihasilkan oleh mulut) dan kecerdasan dalam memilih diksi sebagai sarana komunikasi. Akibatnya, untuk menguasai hal tersebut diperlukan pemahaman yang cukup dalam berbahasa.
Finegan (2008) memandang bahasa sebagai “vehicle of thought” atau “kendaraan pemikiran”. Ini dapat dimaknai juga sistem ekspresi yang menengahi transfer pikiran dari satu orang ke orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, bahasa juga memiliki fungsi sosial dan emosional yang sama pentingnya. Bahasa dapat digunakan dalam mengekspresikan emosi atau memasukkan emosi sebagai konteksnya. Keberadaan bahasa sendiri terjadi dan terbentuk akibat interaksi terus-menerus dalam sekumpulan manusia yang membentuk komunitas.
Kontrol Emosi dan Asertivitas dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam kehidupan sehari-hari, emosi dan asertivitas seseorang berpengaruh demikian besarnya dalam menentukan arah komunikasi. Apakah akan komunikasi akan menyebabkan kesan yang baik atau buruk? Pesan tersampaikan atau malah hanya akan terjadi miskomunikasi? Seluruh intensi tersebut hanya akan dapat ditunaikan dengan baik apabila aspek kontrol emosi dan asertivitas dapat dikendalikan dengan baik pula. Keduanya memerlukan kesadaran penuh dan pertimbangan yang matang dalam waktu yang singkat. Kesadaran dan pertimbangan tersebut adalah aktivitas kognitif yang terjadi pada otak, atau proses yang kita kenali sebagai “berpikir”.
So, always think before you talk, guys!
Referensi
Finegan, E. (2008). Language: Its Structure and Use (5th ed.). Boston: Thomson Wadsworth
Gazzaniga, M., Heatherton, T., Halpern, D. (2016). Psychological Science (5th ed.). New York & London: W. W. Norton.
Pipas, M.D., & Jaradat, M. (2010). Assertive Communication Skills. Annales Universitatis Apulensis Series Oeconomica, 12(2), pp. 649-656. https://doi.org/10.29302/oeconomica.2010.12.2.17
*Penulis merupakan mahasiswa magang Wiloka Workshop
0 Comments