Oleh: Lucia Peppy Novianti
Pertanyaan yang saya ajukan sebagai judul kali ini mungkin terbilang pertanyaan konyol ya? Tapi cobalah teman-teman Wiloka menjawab? Siapkah ketika ternyata aku harus ‘head to head’ dengan Corona dengan dekat? “Tentu siaplah, kan aku udah punya informasi dan pengetahuan lengkap dan proteksiku sudah berlapis juga ni”. Mungkin ada yang langsung merespon demikian. Atau “Duh amit-amit jabang bayik, jangan sampai. Ampun, aku ga akan tahu bagaimana kondisiku bila betul-betul mengalami. Aku tahu sih hal ikhwalnya termasuk pencegahan dan penanganannya, tapi rasaku kok tetap saja aku ga siap.” Kelompok yang mana nih kamu? Si awal atau si akhir? Atau jangan-jangan keduanya alias ga jelas?
Saya termasuk orang yang dari awal sangat peduli dengan upaya perlindungan diri agar tidak terpapar. Karena saya masih memiliki anak kecil yang keduanya memiliki alergi berkaitan dengan pernafasan. Selain itu, pengalaman kehilangan buah hati di tahun 2017 semakin membuat saya semakin concern tentang hal ini. Saya tidak berani menanggung risiko bila tidak melakukan pencegahan. Terlepas bahwa virus ini merupakan konspirasi atau bukan, saya tidak ingin memenuhi kepala saya dengan hal tersebut.
Namun ternyata, di akhir November kemarin, saya dan suami terpapar! Kami melakukan tes swab mandiri bukan karena memiliki gejala sakit tertentu. Maksud hati untuk screening diri ternyata hasil menyatakan confirm, positif. Mendapat hasil itu, respon pertama adalah tidak percaya. Lalu saya ingat pula ada gejolak kemarahan dalam diri saya. Ya, saya marah karena kok kami berusaha disiplin dan selama sekitar sepuluh bulan terakhir sangat minimal beraktivitas di luar kecuali karena pekerjaan, tapi kami terpapar. Rasanya tidak adil, pikir saya. Tapi, inilah kenyataan, dan saya harus menjalaninya.
Saya mencoba berpikir dan berefleksi, apa yang berat ya dari situasi saya terpapar? Karena sebetulnya saya tidak bergejala, bahkan sampai akhirnya dinyatakan negatif. Pun demikian, tidak mudah proses yang saya jalani. Apalagi bagi mereka ya yang dengan penyakit bawaan, tentu semakin banyak tantangan. Dalam kondisi saya yang tidak bergejala, yang secara fisik prima dan bugar ternyata tidak mudah melewati perjalanan 10 hari menjalankan kewajiban kami kemarin, melakukan isolasi mandiri.
Penolakan dan tidak percaya. Kami mendapat konfirmasi positif suami pada sabtu malam, dari rekan yang bekerja di rumah sakit rujukan. Ga percaya. Itu respon pertama kami. Ya karena kondisi suami sehat. Ya karena suami sempat dalam beberapa hari terakhir jogging rutin dan situasi tetap sama saja. Beberapa saat kami terhening. Lalu berdua antara saya dan suami berdialog, dapatnya dari mana ya? Kan kami selalu pakai masker selalu cuci tangan, kok bisa. Dan untuk sekian jam ke depan pergulatan tentang kok bisa dan kok bisa terus hadir di kepalaku. Sampai aku ga bisa tidur. Waktu pun berjalan seperti lambat sekali. Berat.
Bersikap antara melawan dan mengikhlaskan. Hari berikutnya separuh diriku sudah berusaha mengikhlaskan dan menjalani. Ya karena kenyataannya demikian, suka ga suka ya kenyataannya hasil lab suami positif, mau apa? Bahkan sempat ada pikiran penyesalan kami kenapa kok harus cek mandiri, toh bila tidak dicek tidak akan pernah tahu. Hari hari awal berusaha menjalani. Mengurus suami yang harus di kamar dengan isolasi mandiri dan menjaga anggota keluarga lain untuk ketat melindungi diri karena kami tetap serumah. Teman-teman SMA yang dokter dan mendalami covid ini pun terus kuhubungi. Bacaan-bacaan kulahap. Namun ketika sekarang aku berpikir lagi, apakah betul maksudnya saat itu adalah untuk mencari cara terbaik bagi kami dalam melewati badai ini? Atau, jangan-jangan merupakan bentuk penolakanku atau upaya pembuktianku bahwa kami benar? Lha tapi memang siapa ya yang menyalahkan? Ternyata penerimaan diri yang memang dipaksakan akan mudah membuat situasi semakin berat.
Pikiran akan stigma dan kenyataannya. Tidak menyangkal, bahwa pikiran tentang anggapan orang terlebih stigma juga cukup menggangguku saat awal-awal mendapatkan konfirmasi hasil. Saya coba mengurai apa yang membuat khawatir dengan stigma. Apakah khawatir dijauhi? Apakah khawatir disalahkan? Atau apa? Ya betul, stigma ternyata berkaitan dengan pikiran-pikiran tersebut, dijauhi dan disalahkan. Saat itu sebetulnya saya sudah siap dengan komentar-komentar apapun. Tetapi ternyata kesiapan saya secara logika tidak semudah itu juga. Saya tetap saja khawatir, emosi saya ternyata belum siap. Dan sepertinya situasi ini yang membuat saya mellow dan galau sepanjang malam sesaat saya mendapatkan diagnosis suami tersebut. Apa yang terjadi hari-hari selanjutnya setelah teman, kenalan, atau kerabat tahu? Ya, stigma itu tetap bisa saya ‘rasakan’. Rata-rata sih tidak ada yang menunjukkan langsung di depan saya tapi saya tahu sindiran-sindiran yang diberikan dengan maksud stigma itu ya ada juga dari beberapa orang. Sebetulnya secara pikiran, logika saya ‘cuek’ tetapi secara emosi saya tetap terluka. Dan tidak sinkronnya antara emosi dan pikiran ini ditambah tidak bisanya saya bersikap apa adanya membuat situasi di awal-awal terkait stigma memang menantang buat saya.
Perpisahan. Ini yang menurut saya paling berat. Setelah terkonfirmasi positif, maka saya dan seluruh orang di rumah melakukan swab PCR mandiri. Dan empat hari sesudah itu, saya juga dikonfirmasi positif sedangkan anak-anak dan asisten di rumah negatif. Konsekuensinya jelas: saya harus dipisahkan dari anak-anak. Padahal anak kedua saya masih ASI karena masih berusia 23 bulan. Bisa ya dibayangkan bagaimana situasinya. Berpisah saja sudah berat untuk saya. Apalagi diikuti dengan menyapih tanpa persiapan. Belum sempat menjelaskan secara langsung karena sempat panik ketika dikabari hasil pagi-pagi, juga berkontribusi pada beratnya perpisahan ini. Walaupun sebetulnya anak-anak bertempat tinggal sementara di sebelah rumah, tetapi melihat ekspresi kebingungan Jalu, anak ragil juga menjadi hal terberat pada awal-awal perpisahan ini.
Buat saya dan suami, terpapar covid-19 tidak dirasakan berat secara fisik. Puji Tuhan tubuh kami bugar dan bahkan ketika terpapar pun mampu tidak terinfeksi sampai akhirnya dinyatakan negatif. Tetapi, yang terberat bagi kami adalah justru secara psikologis. Karena kami fit sehat tetapi kami tidak dapat bersama anak-anak. Terlebih saya dan anak saya yang masih proses ASI. Namun, bisa saja kondisi berat berbeda bagi pasien covid yang lain. Tidak dapat disamaratakan. Lalu, apa ya yang membuatku cepat bangkit dan terjaga kondisi psikisnya? Refleksi tentang prosesku melewatinya pergulatan akan ada di artikel selanjutnya ya….
0 Comments